Kitab Fiqih Terbesar Syekh Arsyad Banjar yang Tersimpan di Saudi
Rabu, 22 Februari 2017 | 10:00 WIB
Kitab ini berisi kajian tentang fiqih ibadah menurut madzhab Syafi’i, mencakup kajian tentang bersuci, sembahyang, zakat, puasa, haji, perburuan, dan makanan. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu beraksara Jawi, dan dicatat sebagai kitab fiqih ibadah terbesar berbahasa Melayu klasik dalam sejarah khazanah literatur Islam Nusantara.
Adapun gambar naskah ini saya dapatkan dari koleksi perpustakaan Universitas King Saud, Riyadh, KSA, dengan nomor kode 2318. Dalam data identitasnya, disebutkan jika naskah ini adalah tulisan tangan sang pengarang, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Banjar, dengan tititamangsa penulisan pada hari Ahad, 27 Rabi’ul Akhir 1195 Hijri (bertepatan dengan 22 April 1781 M).
Tertulis di halaman identitas manuskrip ini;
217.3 س.ب / 2318 / سبيل المهتدين للتفقه في أمر الدين (باللغة الجاوية)، جمع البنجاري، محمد أرشد بن عبد الله _ كان حيا 1195 هـ. بخط الجامع 1195 هـ
Sayangnya, dalam kolofon tidak disebutkan tempat dilakukannya penyalinan naskah. Namun jika benar ini adalah naskah tulisan tangan Syekh Arsyad Banjar atas kitab karangannya yang fenomenal itu, maka naskah ini adalah naskah yang sangat istimewa yang menjadi naskah acuan utama.
Tebal keseluruhan naskah ini 288 halaman. Setiap halaman berisi rata-rata 23 baris teks. Kondisi tulisan naskah sangat bagus, jelas, dan mudah dibaca. Teks pada naskah ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu beraksara Jawi, dengan tinta berwarna merah dan hitam.
Dalam pembukaan, Syekh Arsyad Banjar mengatakan bahwa dirinya diminta oleh Sultan Banjar pada masa itu, yaitu Sultan Tamhidullah anak dari Sultan Tamjidullah (juga bergelar Sunan Nata Alam, memerintah 1761-1801 M), untuk menulis sebuah kitab yang berisi kajian fiqih (yurisprudensi) Islam madzhab Syafi’i dalam bahasa Jawi (Melayu), agar dapat dijadikan acuan dan pedoman oleh masyarakat Muslim Kesultanan Banjar.
Syekh Arsyad Banjar menulis;
(Telah meminta kepadaku pada tahun J-SH-Q-‘A (1193) Hijriah, seorang raja yang bijaksana, pemilik kecerdasan dan pandangan yang sempurna, yang hatinya bening dan pemahamannya tajam, pemilik kekuasaan atas Negeri Banjar, yang melakukan segenap usaha perbaikan atas hal-hal agama dan negara, tuan junjungan kita yang agung dan pemimpin kita yang mulia, Sultan Tamhidullah putra dari Sultan Tamjidullah, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat atasnya, melanggengkan kerajaan dan keturunannya, yang mana poros kerajaannya masih terus berputar, dan gemawan kebajikan dan kedermawanannya masih terus membasuhi rakyatnya … (memerintahkanku) untuk menulis sebuah kitab dalam bidang fiqih madzhab Syafi’i RA, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawi (Melayu) yang diketahui dan difahami oleh para penduduk negeri Banjar).
Sebenarnya, sebelum upaya penulisan kitab “Sabîlul-Muhtadîn” ini, terdapat sebuah kitab fiqih yang mengkaji masalah-masalah ibadah dan ritual yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu kitab “al-Shirâth al-Mustaqîm” karangan seorang ulama Nusantara dari Kesultanan Aceh, Syekh Nûr al-Dîn Muhammad ibn ‘Alî ibn Hasanjî al-Rânîrî (Nuruddin Raniri, w. 1069 H/ 1658 M). Sejak dikarangnya “al-Shirâth al-Mustaqîm” pada tahun 1054 H (1644 M), kitab tersebut telah tersebar luas dan sangat populer di kalangan Muslim Nusantara, serta dijadikan rujukan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan hukum di pelbagai Negara-Kesultanan di Nusantara.
Hal ini sebagaimana juga diungkap oleh Syekh Muhammad Arsyad Banjar;
(Sesungguhnya kitab karangan seorang alim nan utama Syekh Nuruddin al-Rani[ri] yang bernama “al-Shirâth al-Mustaqîm” dalam menerangkan fiqih madzhab Syafi’I, adalah sebaik-baik kitab [dalam bidang tersebut] yang diterjemahkan [ditulis] ke dalam bahasa Jawi [Melayu]. Hal ini karena kajian-kajian di salamnya diambil dari beberapa sumber fiqih rujukan, karena itulah banyak orang yang mengambil kemanfaatan darinya, dan menerimanya dengan ramai. Semoga Allah membalas budi baik sang pengarangnya dengan keutamaanNya).
Namun, rupanya ada banyak hal yang perlu disempurnakan dari kitab “al-Shirâth al-Mustaqîm” tersebut. Sebagaimana yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad Banjar;
(Tetapi di dalam kitab [al-Shirâth al-Mustaqîm] tersebut terdapat beberapa bahagian ungkapan yang terasa asing nan samar bagi para pengkaji, karena ia banyak memuat unsur bahasa Aceh yang tidak difahami oleh para pengkaji yang bukan penuturnya, di samping di banyak tempat dalam kitab tersebut juga telah terdapat kesalahan, perubahan, bahkan pengurangan yang diakibatkan oleh kesalahan para penyalin [naskah] yang kurang cakap).
Dalam upaya menulis kitab “Sabîlul-Muhtadîn”, Syekh Muhammad Arsyad Banjar pun merujuk kepada kitab-kitab referensial dalam fiqih madzhab Syafi’i, seperti “Fath al-Wahhâb bi Syarh Manhaj al-Thullâb” karangan Syekh Zakariyâ al-Anshârî, “Mughnî al-Muhtâj ilâ Ma’rifah Alfâzh al-Minhâj” karangan Syekh al-Khatîb al-Syarbînî, “Tuhfah al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj” karangan Syekh Ibn Hajar al-Haitamî, “Futûhât al-Wahhâb bi Taudhîh Syarh Manhaj al-Thullâb” (Hâsyiah al-Jamal) karangan Syekh Sulaimân ibn Manshûr al-Jamal al-Azharî, dan “Nihâyah al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj” karya Syams al-Dîn al-Ramlî.
Kitab ini pertama kali dicetak di Istanbul pada tahun 1300 H/1882 M atas inisiasi Syekh Ahmad al-Fathânî (Patani), kepala percetakan kitab-kitab berbahasa Jawi (Melayu) pada percetakan Negara Ottoman. Setelah versi cetak Istanbul, kitab ini kemudian dicetak ulang di Mekkah dan Kairo. Data cetakan “Sabîlul-Muhtadîn” di Istanbul pada tahun 1300 Hijri ini dapat dilacak dalam sumber arsip pemerintahan Imperium Ottoman untuk wilayah Hijaz (Hicaz Vilayet-i Salnamesi; Yil 1300 Hicri).
Pertanyaan lanjutan pun kian bermunculan; “Apakah kitab “Sabîlul-Muhtadîn” versi cetakan pertama di Istanbul pada tahun 1300 H (1882 M) tersebut berlandaskan pada naskah tulis tangan Syekh Arsyad Banjar (bertitimangsa 1195 H/ 1781 M) yang kini tersimpan di Riyadh dan sedang diperbincangkan ini?” (A. Ginanjar Sya’ban)