Pustaka

Komitmen NU Mempertahankan Pancasila

Senin, 31 Januari 2011 | 03:46 WIB

Judul: NU dan Pancasila
Penulis: Einar Martahan Sitompul, MTh.
Penerbit: LKIS, Yogyakarta
Cetakan: I, Juni 2010
Tebal: xxxiv+330 hal.
Peresensi: Ahmad Shiddiq *


NU telah menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas pada Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, 1984. yang menarik bukanlah penerimaan terhadap Pancasila oleh suatu organisasi, terlebih organisasi keagamaan seperti NU, melainkan argumentasi keagamaan yang diketengahkan di dalam menerima Pancasila itu. Di sinilah keunggulan NU. Kendati dijuluki tradisional, organisasi ini bukanlah suatu organisasi keagamaan yang kaku dalam menanggapi perkembangan, justru di dalam sifat yang tradisional, NU membuktikan bahwa dirinya memilki banyak rujukan untuk mengahadapi berbagai perkembangan dan tantangan.<>

NU dan Pancasila, Demikian Judul buku ini. mengkaji pemikiran keagamaan dalam NU sejak berdirinya pada tahun 1926 sampai dengan diterimanya Pancasila sebagai asas. Sejak terbentuk, NU telah terlibat dalam perkembangan politik, tetapi keputusan menerima Pancasila berhubungan dengan pergumulan NU baik di dalam internal NU maupun dalam perhimpunan organisasi politik Islam, menghadapi perkembangan yang terjadi, serta bagaimana menyalurkan aspirasi-aspirasi yang diembannya sebagai organisasi bernapaskan Islam. Penerimaan atas Pancasila juga berkait erat dengan perkembangan yang terjadi dalam tubuh NU, yaitu, konflik antara yang disebut ulama dan politisi.

Dengan menerima Pancasila sekaligus NU juga menyatakan dirinya kembali menjadi organisasi keagamaan, yang kemudian dikenal dengan semboyan “Kembali ke khittah 1926 ”. suatu langkah untuk mengukuhkan kembli peranan ulama sebagaimana hakikat ketika didirikan pada 1926, agar ulama memegang kendali saepenuhnya kiprah NU sebagai organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyah).

Buku ini menyajikan diskursus tentang penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas setiap organisasi kemasyarakatan, bentuk final NKRI, dan keluarnya dari keanggotaan Partai Politik (PPP), yang ditetapkan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, suatu pergulatan yang kemudian dikenal dengan adagium “Kembali ke khittah 1926”. Namun demikian, yang menarik untuk ditelaah (kembali) dalam buku ini adalah proses historis penerimaan NU terhadap Pancasila, penggunaan kaidah-kaidah agama (ushul fiqh) sebagai landasan, dan sekaligus pengimplementasiannya dalam praksis ke-jam’iyah-an.

Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang dan mendalam. NU adalah organisasi kemasyarakatan yang pertama menuntaskan penerimaannya atas Pancasila. Kendati demikian, hal itu bukanlah alasan untuk menuduh bahwa penerimaan itu karena ia bersikap akomodatif, dan juga tidak benar bahwa kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan atau meninggalkan politik praktis sebagai sikap yang emosional. NU bukan saja yang pertama yang menerima, melainkan juga yang paling mudah menerima Pancasila. Adapun argumentasi yang melandasi NU menerima Pancasila yaitu Pertama, konsep Fitrah. Yang merupakan sangat penting dalam Islam. Fitrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemukan tuhannya. Dorongan tersebut yang menyebabkan manusia menyerah diri (Islam) kepada Allah.

Kedua, konsep ketuhanan. NU menilai rumusan yang Maha Esa menurut Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam. “Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa” disini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara adalah bersifat rumit dan krusial. Ketiga, pemahaman sejarah. Maksudnya adalah penerimaan Pancasila diperkuat oleh Mukatamar NU dengan peranan umat Islam menentang penjajahan dan mempertahan kemerdekaan bangsa.

Fakta sejarah dibentangkan dimana peranan umat Islam besar sekali, bukan sebagai klaim status politis, melainkan untuk menegaskan bahwa umat Islam merupakan bagian integral dari perjuangan bangsa. Nilai sejarah terletak dalam pemahaman fakta-fakta yang ada. Dalam rangka nasionalisme, ia dapat menjadi pedang bermata dua; dapat membangkitkan solidaritas dan sekaligus perpecahan, seperti yang tarjadi di Dunia Arab modern yang mayoritas bergama Islam.(hal, 189)

Kemudian penerimaan atas Pancasila berkait erat dengan semangat NU untuk kembali menjadi organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyah). Sebab jika NU sebagai partai politik menjadi tidak relevan lagi. Apalagi NU sudah menyadari selama menjadi partai politik ia telah banyak menghabiskan tenaga untuk prestasi politis, sedangkan usaha keagamaan terbengkalai. Jika segala aspirasi politis sekarang harus berlandaskan Pancasila, maka jalan yang terbaik bagi kehidupan dan pengembangan agama adalah dengan benar-benar menjadi organisasi keagamaan. Itu yang ditegaskan dalam semboyan kembali ke khittah 1926 saat NU terbentuk sebagai organisasi keagamaan.

Ada dua pertanyaan almarhum Gus Dur yang ditempatkan di awal artikel Douglas Ramage, yaitu “Tanpa Pancasila, negara tidak akan pernah ada”,  Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia membuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Beliau (Gus Dur) akan tetap mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raganya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh oleh segelintir tentara maupun kelompok umat Islam. Pernyataan Gus Dur itu disampaikan pada juni 1992, beberapa bulan setelah Rapat Akbar NU (Maret) yang digelar untuk menegaskan kembali komitmen NU terhadap dasar negara Pancasila.

Dengan demikian, Buku ini menjadi referensi wajib bagi siapa saja yang ingin tahu tentang NU. Karena selain  buku ini ditulis oleh orang luar yang objekvitasnya dapat dipertanggung jawabkan juga mampu menghadirkan perspektif berbeda perihal pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga dapat membuka cakrawala baru tentang historis penerimaan NU terhadap Pancasila.

* Mantan Pengurus PAC IPNU Gapura-Sumenep, sekarang Aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya


Terkait