Pustaka

Membedah Jiwa Konstitusi Indonesia yang Plural dan Islami

Senin, 28 Februari 2011 | 00:29 WIB

Judul: Syarah Konstitusi; UUD 1945 dalam Perspektif Islam
Penulis: Masdar Farid Mas’udi
Penerbit:Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan: I, Desember 2010
Tebal: xxx + 198 Halaman
Peresensi: Lukman Santoso Az*
 
Beberapa minggu ini kita semakin sering disuguhi pemberitaan mengenai konflik dan kekerasan atas nama agama. Kekerasan yang berlabel kebenaran agama (keyakinan) kini semakin mudah disulut. Banyak pihak kemudian menuding pemerintah kurang tegas dalam melindungi hak-hak warganya. SKB Tiga Menteri yang merupakan jawaban pemerintah atas kasus kekerasan agama dua tahun lalu juga dianggap ‘mandul’ dan tidak mampu memberi solusi. Para elite dan tokoh pun terlibat pro dan kontra seputar apakah membubarkan ‘kelompok’ yang menimbulkan konflik atau tidak. Untuk meredam keadaan itu, para wakil rakyat (legislator) kemudian mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan MUI untuk mencari solusi sekaligus jalan keluar atas berbagai konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut. Namun, tampaknya banyak pihak kemudian lupa bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sejatinya dilahirkan dari semangat Kebhinekaan (kemajemukan), apapun kelompok dan keyakinannya.
<>
Realitas ini tentu merupakan sedikit gambaran bahwa hukum di negeri ini sedang carut-marut. Hukum tengah mengalami ‘sakit’ yang akut, sehingga tidak mampu memberi ‘servis’ rasa keadilan, rasa aman, sekaligus jaminan perlindungan bagi warga negara. Padahal NKRI dalam UUD 1945 dinyatakan secara tegas sebagai negara hukum. Keadaan ini tentu tidak serta merta menjadikan kita pesimisme dalam upaya penegakan hukum (law enforcement). Tentu masih ada solusi sekaligus upaya yang bisa ditempuh dalam menghadapi berbagai persoalan agama. Salah satu hal mendasar untuk diaktualisasikan adalah me-refresh pemahaman warga negara terhadap substansi konstitusi yang juga mengandung dimensi keagamaan dan kemajemukan, termasuk kemajemukan dalam internal masing-masing agama. Seperti dalam internal Islam yang memiliki keragaman mazhab dan aliran.

Maka, Kehadiran buku berjudul Syarah Konstutusi; UUD 1945 Dalam Perspektif Islam, menjadi sangat urgen sekaligus kontekstual dalam menjawab berbagai persoalan keragaman dan keberagamaan yang kini sedang memanas. Dalam buku ini, Masdar Farid Mas’udi, mencoba menelaah secara komprehensif kata-kata kunci – yang dalam istilah dunia pesantren disebut syarah – dalam UUD 1945, sebagai pembuktian bahwa sejatinya UUD 1945 berjiwa Islami sekaligus toleran. Buku ini juga merupakan cara Masdar dalam menjelaskan kepada sebagian umat Islam dan publik yang terpengaruh dengan gerakan ‘Islam Politik’ dan kekerasan yang mengatas-namakan agama (Islam).

Menurut Masdar, untuk menghadirkan kancah permainan (playing field) yang fair bagi kemajemukan kepentingan dalam bingkai negara kesatuan RI, semua warga harus taat azas pada konsensus dasar, yakni konstitusi. Demokrasi yang benar harus berjalan di atas rel konstitusi, sehingga demokrasi yang berkembang menjadi lazim disebut demokrasi konstitusional. Bagi masyarakat Muslim, kesetiaan terhadap konstitusi memerlukan usaha keras dan kesungguhan, yakni dengan cara menemukan kesesuaian antara nilai-nilai substantif keislaman dan nilai-nilai dasar konstitusi.

Umat Islam diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Sebagai pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Buku ini merupakan bukti bahwa nilai dan aturan dasar konstitusi tidaklah bertentangan, sebaliknya justru sejalan dengan substansi nilai keislaman. Oleh sebab itu, tantangannya bukanlah bagaimana memperjuangkan formalisasi negara Islam, melainkan bagaimana merealisasikan nilai dan aturan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, jujur, dan konsekuen. Prinsip ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 oleh Founding Fathers merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan. Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap eksistensi Islam sebagai agama resmi negara sekaligus sebagai hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi, apabila dibandingkan materi antara Piagam Madinah dengan UUD 1945, maka UUD 1945 mengandung unsur islami.

Dalam konteks syarah Pembukaan UUD 1945, Masdar menegaskan, bahwa konstitusi dalam konteks negara modern yang majemuk selalu dimuati nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan hal-hal dasar yang bisa disepakati bersama oleh segenap komponen warga yang bersangkutan, meskipun masing-masing punya latar belakang agama, keyakinan maupun budaya berbeda-beda. Oleh sebab itu tidak ada negara modern yang majemuk yang konstitusinya secara langsung merujuk pada bunyi kitab suci agama tertentu. Pola ini secara gamblang telah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai tokoh utama pembentuk negara Madinah yang modern dan majemuk. Nabi SAW pada saat itu tidak punya pretensi sedikitpun untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai Konstitusi Madinah. Konstitusi Negara Madinah adalah hasil negosiasi dan kesepakatan semua komponen masyarakat yang diperlakukan sama, meskipun memiliki latar belakang agama beragam.       

Demikian pula dalam UUD 1945, secara yuridis konstitusional memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk agama untuk menjalankan kewajibannya. Pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yang tinggi yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Prinsip ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah di bumi dengan tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan segenap makhluk hidup, serta untuk menjaga kesinambungan alam itu sendiri.

Prinsip ketuhanan juga berarti bahwa tindakan setiap manusia termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Di samping itu penataan hubungan antara agama dan negara harus  dibangun atas dasar simbiosis mutualisme di mana yang satu dan yang lain saling melengkapi. Dalam konteks ini agama memberikan kerohanian yang dalam sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. Artinya negara sebagai lembaga publik harus melindungi hak dan kepentingan warganya yang termuat dalam konstitusi, termasuk kebebasan beragama tanpa membeda-bedakan antara penganut yang satu dan penganut agama yang lain.  

Buku setebal 198 halaman ini merupakan telaah komprehensif mengenai konstitusi Indonesia dalam perspektif Islam yang diharapkan mampu untuk menjelaskan keberadaan Islam dalam sistem konstitusionalise di Indonesia. Selain itu, buku ini diharapkan pula dapat menjadi rujukan sekaligus penengah terhadap sekelumit kontroversi hukum di Indonesia, yaitu sebagian kalangan menafsirkan hukum di Indonesia merupakan suatu hukum sekuler, dan di lain pihak terdapat tuntutan kalangan untuk merealisasikan islamisasi hukum di Indonesia.

Akhirnya, sebagaimana dikatakan Prof Dr Moh.Mahfud MD dalam pengantarnya, buku ini memberikan rujukan dalil-dalil naqliyyah untuk hampir semua ketentua­an di dalam UUD 1945. Dari buku ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kandungan konstitusi Indonesia adalah islami. Ini berarti, Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah negara yang islami, tapi bukan negara Islam. Negara Islami secara resmi tidak menggunakan nama dan simbol Islam, tapi substansinya mengandung nilai-nilai Islam. Pemahaman tersebut sangatlah penting untuk menyempurnakan kepribadian setiap warga negara sebagai warga bangsa yang religius. Karena eksistensi konstitusi dalam kehidupan bernegara sebuah negara merupakan sesuatu yang sangat krusial sekaligus integral, karena tanpa konstitusi bisa jadi tidak akan terbentuk sebuah negara. Konstitusi dan negara ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak terpisahkan.

* Lukman Santoso Az, Anak Muda NU, Peserta Program Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta.


Terkait