Nahdlatul Ulama bagian dari sejarah nasional Republik Indonesia. Peranannya dalam mengisi perjuangan dan kemerdekaan negeri ini besarnya tak terkira. Waktu demi waktu jatuh bangun dilalui dengan segala bentuk cerita yang tiada tara. Kawan dan musuh silih berganti membuat bendera hijaunya semakin berani berkibar di angkasa.
Di balik kebesaran NU itu, ada banyak tokoh yang menghabiskan tenaga dan pikiran. Tanpa mental yang kuat dan tangguh, tentu NU tak akan bisa sejaya ini. Kita mengenal sosok Hadratussyekh M. Hasyim Asy’ari sebagai pendirinya, didampingi KH. Wahab Hasbullah dan kiai-kiai lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, bendera NU tidak mungkin dipegang terus oleh Pendiri Pesantren Tebuireng tersebut. Pada 1947, Hadratussyekh meninggal. Meninggalkan Indonesia, meninggalkan NU. Masa Mbah Hasyim akhirnya habis.
Tongkat estafet diwariskan dari masa ke masa dengan semangat yang sama. Ketokohan silih berganti dengan berbagai corak. Muncullah tokoh-tokoh yang memiliki perjalanan hidup mengagumkan. Dari kalangan pesantren hingga organisatoris. NU banyak melahirkan manusia pilihan, tetapi tidak semua dikenal. Untungnya, Pustaka Tebuireng diberkati inisiatif untuk memperkenalkan kembali tokoh-tokoh yang terlupakan itu.
Buku Membuka Ingatan berisi sejarah hidup beberapa tokoh NU yang tidak banyak dikenal, bahkan oleh kalangan pemuda NU sendiri. Enam tokoh NU yang lahir pada tahun 1960-an itu ialah Fahmi Dja’far Saifuddin, Asmah Sjahruni, Mohammad Zamroni, Prof Dr KH M. Tolchah Mansoer, HM. Subchan Z.E, H. Mahbub Djunaidi. Dari deretan nama tersebut, mungkin sebagian kita tidak mengenalnya, atau mengenal namanya saja tanpa tahu sejarah hidupnya yang inspiratif.
“Dalam perjalanannya, Nahdlatul Ulama memiliki dan melahirkan tokoh-tokoh hebat yang layak dijadikan teladan. Misalnya, Fahmi D. Saifuddin. Selain karena kecakapan pengetahuan yang dimiliki dan kelincahannya dalam bergerak, juga totalitasnya dalam mengabdi. Dengan landasan keikhlasan seringkali menjadi tameng yang ampuh baginya untuk menghindarkan diri dari godaan ingin populer. Mereka berjuang sungguh-sungguh tanpa ingin diberi hadiah, gelar, jabatan, dan popularitas.” (hal. vi)
Menurut KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) dalam pengantarnya, buku ini diterbitkan untuk menumbuhkan kembali ingatan warga NU akan adanya sejumlah tokoh NU yang terlupakan, bahkan mungkin sudah tidak banyak lagi yang ingat nama mereka. Padahal, mereka tokoh yang layak diteladani karena prestasi juga integritas. Mereka mempunyai karakter yang berbeda-beda, tetapi punya satu hal yang sama, semangat pengabdian untuk Indonesia dan Islam serta NU. (hal. xii)
Dengan menikmati buku setebal 498 halaman ini, kita jadi tahu para tokoh yang mencatatkan namanya dalam tinta emas perjalanan NU. Generasi muda utamanya dari kaum NU sebagai pewaris perjuangan pendahulunya, penting untuk mengambil pelajaran dari kehidupan tokohnya. Tidak patut kita melupakan begitu saja tokoh-tokoh pejuang sebelum kita. Dari buku ini, pembaca akan lebih mengetahui perkembangan organisasi NU dalam kurun waktu 1960-1990, suatu masa yang cukup panjang dan penuh perubahan.
Data Buku
Judul: Membuka Ingatan: Memoar Tokoh NU yang Terlupakan Jilid I
Penulis: Tim Pustaka Tebuireng
Penerbit: Pustaka Tebuireng
Cetakan: I, Maret 2017
ISBN: 978-602-8805-47-6
Tebal: xiii + 498 halaman
Peresensi: Hilmi Abedillah