Pustaka

Menjaga Tradisi Kaum ‘Sarungan’

Senin, 14 Februari 2011 | 06:05 WIB

Judul Buku: NU, Politik dan Tradisi
Penulis: Abu Rokhmad
Cetakan: I, 2010
Penerbit: RaSAIL Media Grup Semarang
Tebal Buku: xvi + 252
Harga: Rp. 25.000
Peresensi: Nazar Nurdin*

Prof. Dr. Martin van Bruinessen dalam bukunya NU, menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama’ (NU) adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di negeri ini. Dalam kajian hukum Islam, ia tunduk pada madzhab Syafi’i, akidah pada al-Asy’ari dan tasawuf pada al-Maturidy.<>

NU sebagai satu dari sekian ormas keagamaan tampak eksis berdiri paling depan dalam organisasi yang moderat. Dalam sejarahnya, NU telah berhasil mempertontonkan suatu ‘adegan peristiwa’ sejalan dengan revolusi kemerdekaan. Tatkala itu, NU berhasil berkecimpung dan menunjukkan aksi-aksi yang rupawan. Sehingga, ia pun dikenang menjadi ormas pertama yang menerima dasar negara (Pancasila) sebagai basis ideologi negara tanpa disertai embel-embel apapun.

Hingga kini, NU dan para kader-kadernya tersebar luas di seluruh pelosok Nusantara, bahkan di seluruh dunia. Ia mempunyai basis kuat di pedesaan. Ia mempunyai ribuan pondok pesantren yang terus mencetak kader-kader militan. Pondok Pesantren dijadikan ajang menimba ilmu; baik ilmu keagamaan, ilmu kemasyarakatan, maupun ilmu bertawadhu’ kepada seseorang. Bagi sebagian pihak, pondok pesantren adalah representasi dari NU.

Bagi Abu Rokhmad, NU bukan hanya dimaknai sekedar sebagai organisasi. Namun, ia menjadi ruh bagi sebuah kultur (baca-tradisi) dalam relung kehidupan masyarakat Indonesia yang umumnya bermazhab Syafi’i. NU berpedoman pada tradisi toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun) dan   berlaku adil (tawasuth). NU pun terus memupuk seseorang menjadi pribadi yang bermartabat, pribadi yang moderat.

Sayangnya, teori itu tidak diimplementasikan dalam lapangan. Jamak dari kader-kader NU yang mulai menanggalkan identitasnya. Umumnya, ketika disinggungkan dengan politik praktis, kader mengalami pergeseran transformasi yang luar biasa. Santri yang semula ta’dhim pada kiai, mulai berani berontak.

Untuk menjaga tradisi agar tetap utuh, diperlukan suatu kajian yang komprehensif dengan mengkaji kembali doktrin-doktrin yang dipegang NU yakni Aswaja. Sebab, kajian itu memiliki akar historis yang cukup panjang dan merupakan langkah terobosan yang strategis.

Selama ini, masyarakat cenderung salah kaprah ketika memandang doktrin Aswaja. Bagi Abu Rokhmad yang sependapat Said Aqil Siradj menuturkan bahwa ketika mereka memahami Aswaja, selanjutnya mereka mengidentikkan Aswaja dengan ‘Islam’. Kedua, sebagian lain melihat Aswaja hanya sebagai madzhab. Ketiga, ada tiga pula yang mengartikan Aswaja sebagai karakteristik komunitas kaum Muslimin yang mengamalkan aktivitas seperti tahlilan, manaqiban, selametan, berjanjian, qunutan dan amalan sejenisnya. Keempat, bahkan ada juga yang memakai term Aswaja sebagai langkah purifikasi ajaran Islam.

Buku setebal 252 halaman ini menyajikan ulasan yang cukup menarik. Buku dibagi menjadi 3 kategori. Kategori pertama pada aspek sejarah dan ideologi NU yakni tentang Aswaja (The people of Tradition of community). Bagian kedua, tentang kedudukan NU dalam Khittah dan Politik, dan ketiga tentang pergumulan NU dalam Islam dan Tradisi.

Nah, tradisi ‘kaum sarungan’ ini butuh sekali penjagaan agar ia tetap eksis berjalan, agar tidak digerus oleh faham-faham keagamaan yang ‘menyesatkan’.

*) Nazar Nurdin, Pemimpin Redaksi Majalah LPM Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Peneliti Muda di Lembaga Kajian Sosial dan Agama (eLSA) Semarang


Terkait