Pembaruan Desa, Upaya Menuju Good Governance
Oleh: Achmad Maulani*)
Kalau kita benar bahwa di negeri ini tengah berlangsung proses desentralisasi yang berlangsung secara simultan dengan proses demokratisasi dan proses tersebut berjalan mulus secara top-down dalam kendali pemerintah, kiranya sangat mudah di antisipasi bahwa pembaruan pada level yang paling bawah adalah suatu keniscayaan. Dan muara dari itu semua adalah pembaruan pemerintahan desa.
Dalam kerangka itulah, optimisme akan berlangsungnya pembaruan penyelenggaraan pemerintahan pada level desa ternyata harus dibangun. Namun, kita juga tidak bisa sec<>ara naif berharap bahwa pembaruan pada level desa dengan serta merta akan berlangsung. Diperlukan penggalangan kekuatan dan langkah strategis untuk melangsungkan dan memastikan bahwa proses pembaruan desa bisa terus bergulir.
Seperti kita tahu bahwa secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat, serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari luar.
Di Sumatera Barat misalnya, pernah ada apa yang disebut dengan pemerintahan Nagari yang saat ini juga coba dihidupkan kembali. Di Bali, juga terdapat pemerintahan Banga atau Desa Adat yang menempati posisi yang sangat penting. Atau di Minahasa dengan Wanua-nya sebagai bentuk pemerintahan asli dan sebagainya.
Semua itu seolah mengingatkan kita bahwa ribuan kultur lokal yang hidup di setiap jengkal pulau-pulau pembentuk Indonesia bukanlah semata-mata warna-warni dan tetek bengek yang eksotik, melainkan juga wilayah belajar dan sekaligus modal sosio-kultural dasar kebangsaan kita. Karena, di dalam apa yang kita sebut dengan kultur lokal itu seringkali tersimpan pengalaman, jejak-jejak kreatifitas dan pencapaian tertentu dari para jenius lokal dalam mengembangkan pandangan hidup, tata berfikir, dan juga sistem sosial tetentu.
Nah, sehubungan dengan kenyataan seperti itu, buku ini mencoba memberikan satu perspektif baru bahwa untuk menciptakan good governance, mendorong perubahan dan melakukan transformasi sosial, serta mewujudkan pelaksanaan desentralisasi perlu dilakukan pembaruan di level yang paling bawah yakni pembaruan desa secara partisipatif.
Namun, arah dan format pembaruan desa sebagai satu usulan alternatif penyelenggaran pemerintahan juga harus dilakukan secara hati-hati. Hal ini karena pertama, tingkat keberagaman desa di negeri ini sangatlah tinggi. Maka penyeragaman arah perlu senantiasa diwaspadai. Kedua, desa merupakan wujud “bangsa“ yang paling konkrit. Di level desa itulah identitas kolektif masyarakat dibentuk, dan memformat ulang tata pemerintahan pada dasarnya juga mempertaruhkan kebangsaan kita. Sungguhpun demikian, di atas bangunan sosial desa itu telah berdiri apa yang disebut negara.
Yang seringkali terjadi selama ini nasib desa sering tak luput dari intervensi negara. Kahadiran dan campur tangan negara yang terlalu berlebihan dalam semua sektor kehidupan masyarakat membawa implikasi pada lemahnya kemandirian dan kemampuan masyarakat desa. Kondisi ini sangat jelas terlihat selama kekuasaan Orde Baru. Saat itu berdasarkan UU No. 5/1979, penguasa melakukan kebijakan sentralisasi, birokratisasi dan uniformitas pemerintahan dan komunitas pada tingkatan desa. Negara (pemerintah pusat) benar-benar telah menjadi sumber dari semua kekuasaan dan kebijakan yang ada.
Subordinasi dan intervensi desa oleh negara semacam itu dalam perjalanannya menimbulkan banyak persoalan. Diantaranya terjadinya pelumpuhan desa yang sebelumnya hadir sebagai institusi sosial yang otonom. Selain juga negara tak pernah menghiraukan heterogenitas masyarakat adat dan pemerintahan asli.
Dari sinilah kemudian buku ini melihat signifikansinya untuk mendorong perubahan melalui pembaruan desa. Pembaruan ini dapat diwujudkan dengan memberi kesempatan bagi hidupnya kembali pemerintahan asli di tingkat desa, pengaturan pemerintahan tingkat desa yang tidak lagi di atur di tingkat nasioanl dan diserahkan untuk dikelola masyarakat tingkat lokal, sampai kepada deregulasi dan debirokratisasi pemerintahan desa.
Sungguh pun demikian, kebangkitan otonomi desa yang diusulkan juga tidak menjamin terselenggaranya pemerintahan yang b