Pustaka

Qolbu, Sentra Kehidupan Manusia

Rabu, 22 November 2006 | 05:30 WIB

Penulis  : KH. Muhyiddin Abdusshomad, Pengantar : Prof. KH. Ali Yafie, Cetakan : I, Desember 2005
Tebal  : XVI + 199 halaman, Peresensi : M. Abd. Hady, JM*

Manusia, barangkali sosok makhluk paling unik dan misterius. Pada saat tertentu, Ia tampil (mau) menampakkan sebagai sesosok malaikat. Sosok makhluk suci. Seolah tiada dosa sedikitpun membekas dan (dibiarkan) menyelinap dalam dirinya. Tetapi tidak jarang, manusia seringkali menjelma layak iblis-setan. eksistensi, visi dan misi serta perilaku manusia lebih dari iblis-setan itu sendiri. Pendek kata, dalam diri manusia tersimpan dua potensi, baik dan buruk.

Dalam pandangan Islam, seluruh sepak terjang tingkah laku Manusia <>bermuara dari satu titik, Qolbu (hati). Dari titik sentral inilah, segala kebaikan mengalir. Tempat awal mula kejelekan bermula. Titik ini akan memberikan implikasi dampak positif dan negatif cukup besar bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.

Qolbu memiliki arti dan peranan sentral cukup penting dalam menentukan arah kehidupan manusia. Logika ini barangkali, sehingga dalam strategi dakwahnya, Aa Gym memberikan perhatian utama atas persoalan Qolbu ini dengan desain format “ Management Qolbu (MQ)” nya. KH. Muhyiddin Abdusshomad kurang lebih juga menaruh perhatian  yang sama yang dikemas dengan nama “ Penuntun Qolbu”.

Buku berjudul “ Penuntun Qolbu, Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual “ yang ditulis, KH. Muhyiddin Abdusshomad ini membeberkan potensi qolbu. Ketua Tanfidziyah NU. Jember ini, dalam buku ini, berupaya menguak kemungkinan penyakit yang sering mengendap dan bersarang dalam qolbu manusia. Dengan kemampuan yang dimilikinya, kemudian beliau menyuguhkan terapi penyembuhan yang paling efektif dengan mengais-ngais mutiara hikmah yang berserakan dalam kantong-kantong kitab kuning.

Imam al-Ghazali, penyakit Qolbu bermuara pada tiga hal, hasud (iri), riya’ dan ‘ujub atau takabbur (h. 66). Ketiga penyakit ini merupakan induk dari semua penyakit qolbu lainnya. Jika kita cermati ketiga jenis penyakit kronis in, bahkan penyakit-penyakit qolbu lainnya serta kerusakan yang ditimbulkannya sejatinya berpangkal dari ‘Virus’ cinta dunia (Hubb al-Dunya)  yang berlebihan.

Akibat terlalu cinta dunia, rasa iri terhadap nikmat yang dimiliki orang lain akan mulai menyelinap dalam qolbu-nya. lalu muncul sifat sombong karena telah merasa memiliki segalanya, kemudian bersemi keinginan untuk memamerkan apa yang telah diperolehnya. Dari sini kemudian tumbuh sikap menghalalkan segala cara asal tujuan dapat tercapai. Yang penting hasil. Tak peduli bagaimana proses yang dilaluinya. 

Sebagaimana penyakit jasmani, penyakit Qolbu juga terdapat terapi pengobatannya. Ia senantiasa hinggap dan menghilang dari qolbu manusia sesuai kondisi dan kemauan manusia itu sendiri untuk menyembuhkannya. Setiap kali penyakit itu menimpa dan muncul segera sedini mungkin dihindari dan diupayakan obat penawarnya sebelum berkarat dan mendarah daging sehingga sulit untuk dibasmi. Sebab, penyakit qolbu yang menimpa diri seseorang, dapat berimplikasi negatif bagi kehidupannya.

Ada beberapa terapi penawar agar Qolbu senantiasa jernih dan bersih serta terhindar dari endapan penyakit. Tidak menjadi sarang penyakit. Dalam buku ini dijelaskan ada lima terapi. Tetapi jika diperas diambil saripatinya, maka hanya akan menjadi 2 point saja, yaitu Dzikrullah dan Tadabbur. (h. 86-88). Qolbu yang selalu berdzikir kepada Allah Swt, akan timbul kesejukan jiwa, sehingga seseorang akan menjadi lapang dalam menghadapi segala pernik-pernik problematika kehidupan. Buahnya yang dapat dipetik, ia tidak akan silau atas kenikmatan yang dimiliki orang lain. Begitu juga ia tidak akan sombong dengan kelebihan yang dimilikinya.

Ikhtiar penyembuhan penyakit qolbu yang kedua adalah dengan melakukan tadabbur. Tadabbur adalah merenungkan hakikat kehidupan manusia di dunia serta memikirkan tentang apa yang sedang menimpa dirinya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang lemah. Kalau kita renungkan semua hal yang ada di dunia ini esensinya milik Allah. Dia-lah juga yang mengaturnya dengan penuh bijaksana. Jadi, sifat iri sama sekali tidak ada mamfaatnya. Itu hanya perbuatan sia-sia.

Renungkan!. tidakkah kita malu. Apa yang harus kita pamerkan (riya’) dan buat apa iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Sebab, itu semua sejatinya milik Allah. Kita hanya diberi amanah buat sementara waktu. Apa yang dapat kita banggakan dan sombongkan, toh semua yang kita miliki akan musnah seiring perjalanan waktu. Itu semua akan diambil kembali oleh Sang pemiliknya.

Buku ini tampaknya sangat pen


Terkait