“Membela nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya | membela Islam, jelas pahalanya, jelas contoh tauladannya.”
“Hanya syariah dan khilafah yang mampu menghapuskan kezaliman dan mengangkat penjajahan. Dan itu adalah tuntutan iman.”
Dua pernyataan di atas adalah sebagian dari cuitan Felix Yanuar Siauw di akun twitternya. Ya, Felix Yanuar Siauw, barangkali adalah salah satu sosok fenomenal di mayantara Abad 21 ini. Ia adalah seorang motivator, penulis buku, dan ustadz. Di bio fanpagenya tertulis pengemban dakwah, bersama yang menginginkan tegaknya syariah-khilafah. Jumlah pengikut (followers) twitternya hampir 2 jutaan. Sudah lebih dari 3 jutaan penyuka (likers) di Fanpage pribadinya, dan setiap posting di Fanpage minimal dibagikan 1000-an pengguna FB. Sebagai seorang motivator, dia pandai mengelaborasikan pesan-pesan motivasional di dalam cerita, dan gesturenya selalu atraktif. Pendengar yang menyimak ceramah-ceramah motivasinya tidak merasa digurui, namun malah terpikat, melongo, kadang sesenggukan haru. Ia pandai menarasikan adegan-adegan peristiwa dengan kata dan kalimat yang yahud. Ia mampu berceramah dengan bahasa generasi gaul, bahasanya loe dan gue.
Setelah menuliskan duo buku masterpiecenya, Yuk Berhijab dan Udah Putusin Aja!, serta novel Muhammad Al Fatih, ia mulai ‘rada berani’ mengeluarkan pernyataan di luar tupoksinya sebagai sosok motivator. Ia bilang bahwa nasionalisme itu tidak ada dalil dan panduannya, halal hukumnya memakai barang-barang bajakan karena hak cipta hanyalah milik Allah (All rights reserved only by Allah), menjadi wanita kuat, mandiri, dan idenpenden itu serem dan tidak baik. Ia kadangkala juga menjelma menjadi seorang pengamat ekonomi dan politik dengan mengeluarkan twit haramnya bekerja di bank konvensional karena dikhawatirkan akan terkontaminasi debu-debu dosa riba, soal dinamika politik di Mesir, penaikan harga BBM adalah termasuk penipuan dan sebuah keharaman yang besar, dan lain-lain. Yang menjadi trade mark pribadinya adalah bahwa khilafah itu adalah bagian daripada pilar keimanan dan menegakkan khilafah (di Indonesia) merupakan perintah Rasulullah Saw. Ia juga menggugat-gugat dalil soal doa pergantian tahun, istikharah, puasa Tarwiyah, ibadah di malam nishfu Sya’ban, dan amalan sunnah di Bulan Rajab.
Merespon beberapa pernyataan Felix Yanuar Siauw di akun sosial medianya, Muhammad Sulton Fatoni, penulis Dear Felix Siauw: Sekadar Koreksi Biar Nggak Salah Persepsi mencoba mengoreksi pendapat kontroversi “Ustad Gaul” yang selalu berwawasan global dengan wacana khilafahnya ini yang begitu mudah menentukan hukum. Penulis menyuguhkan fakta-fakta fiqih yang mengindonesia. Beberapa isu yang sempat jadi perdebatan publik ditanggapi dengan paparan yang enggak kalah gaul. Penulis menerapkan laku tawasau bil haq kepada teman sesama Muslim. Laiknya teman akrab yang saling menyampaikan nasihat dalam kerangka cinta, bukan kebencian. Sebagaimana dalam bahasa Arab kata nasihat juga bisa berarti khaatha, yaitu menjahit karena perbuatan penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya diibaratkan memperbaiki pakaiannya yang robek. Penulis sama sekali tidak menjatuhkan, men-underestimate pendapat-pendapat Felix, namun menyajikan argumentasi dan dalil-dalil rajih demi kedamaian dan kebaikan. Penulis melakukan comprehensive review, melihat kembali, menimbang atau menilai pendapat, statetement, ‘fatwa’ Felix Siauw dengan mengetengahkan sanggahan disertai referensi Al Quran Hadis, kitab turats, kitab kuning babon dan muktabarah, data-data sejarah (tawarikh al islam), teori-teori politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Di dalam buku ini, tidak ditemukan redaksi bahasa yang menyerang dan menyakitkan hati. Penulis melakukan penilaian secara jujur dan objektif. Beragam argumentasinya masuk akal dan logis. Bukan asal mengkritik!
Thus, ini sebuah tradisi mulia, menurut hemat peresensi, sebuah mekanisme kritik wacana VS wacana, buku VS buku, dengan penyampaian dan pemaparan yang lugas, santun, dan ilmiah. Tidak saling memojokkan dan menjelekkan. Bak pertarungan wacana antara Imam Al-Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah-nya dan Ibn Rusyd dengan Tahafut at-Tahafut-nya atau polemik antara Bung Karno yang menulis ISLAM SONTOLOYO dengan M. Natsir yang berlangsung sepanjang tahun 1930 - 1935. Sebuah polemik asyik dan intelek yang nyaris belum ada tandingan bobotnya dala sejarah polemik di Indonesia.
Semoga buku bercover pink nan imut ini mampu menjadi oase, Islamic Answers bagi remaja/remaji generasi Y dan, Z aktif di sosial media, ABG yang hidup di era transborder data flows yang ingin mengetahui Islam yang sesungguhnya sehingga tidak mudah terpengaruh oleh arus informasi tentang Islam yang banyak berseliweran di dunia maya, alias tidak instan mengaji agama dari internet. Buku ini berisi tentang keislaman dalam konteks keindonesiaan. Positif untuk dibaca agar masyarakat tahu bahwa di bumi Nusantara sudah sejak lama terjadi proses pengintegrasian antara fiqih dengan kondisi sosial masyarakat, dan berlanjut dalam hukum Islam dengan hukum nasional melalui sarana kebudayaan. Inilah babak lanjutan dialog intensif yang sebelumnya terjadi antara Islam dan kebudayaan Turki, Persia, India, Tiongkok, dan lainnya. Disuguhi dengan fakta fiqih yang mengindonesia. Beberapa isu yang sempat jadi perdebatan publik ditanggapi dengan paparan yang enggak kalah gaul.
Buku ini wajib dibaca setiap followers Felix Siauw dan mereka yang ‘kurang setuju” dengan pendapat-pendapatnya.
Data Buku:
Judul : Dear Felix Siauw, Sekadar Koreksi Biar Enggak Salah Persepsi
Penulis : M. Sulthan Fatoni
Penerbit : Imania
ISBN : 978-602-7926-22-6
Tebal : 210 halaman
Harga : Rp 42.000,-
Kode buku : XD-11
Terbit : Maret 2015
Kategori : Referensi Islam
Peresensi adalah Faried Wijdan, Alumnus Pondok Pesantren Hadil Iman, MAPK Surakarta