Pustaka

Tafsir Toleransi Antaragama

Senin, 1 Februari 2016 | 08:30 WIB

Selama ini, sering dipahami bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam menjadi alasan untuk menegakkan khilafah, atau sistem pemerintahan Islam. Dalil-dalil yang diungkapkan oleh pendukung khilafah, tidak memberikan ruang bagi umat non-Muslim dapat berkontribusi dalam pemerintahan maupun kehidupan sosial politik. Bahkan, yang lebih ekstrem, upaya untuk mengkafirkan dan menyingkirkan orang-orang yang tidak sejalan dengan pemahaman. Padahal, sejatinya, Al-Qur’an jelas memberi tuntunan, mengabarkan teladan bagaimana ajaran Nabi Muhammad menyempurnakan ajaran-ajaran agama sebelumnya.

Buku yang ditulis oleh Dr Sa'adullah Affandy ini bermaksud untuk menghadirkan tafsir alternatif atas abrograsi agama. Dalam riset doktoralnya, Sa'dun yang merupakan Dosen Pascasarjana STANU ini melakukan penelusuran atas perdebatan para ahli tafsir tentang nasikh-mansukh, terkait dengan ajaran agama. Sa'dun, berkeyakinan bahwa Islam menjadi rujukan umat manusia untuk menjalankan syariat yang diwartakan oleh Nabi Muhammad, sebagai penyempurna dari ajaran-ajaran para Nabi terdahulu. "Dari sekian ribu ayat Al-Qur’an, dapat dipastikan tidak ada satu pun ayat pun kalam Tuhan yang menyatakan abrograsi (pembatalan) agama-agama," tulis Sa'dun.

Dalam pengantar buku ini, KH Husein Muhammad meletakkan pro-kontra tentang nasikh-mansukh dalam ruang diskursus tafsir Al-Qur’an. Para pendukung naskh berdebat dalam hal jumlah maupun bagian-bagiannya. Syekh Waliyullah al-Dihlawi (w. 1762), ulama pembaru dari India, menghimpun ayat-ayat ini menjadi 500, meski sebelumnya Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w.911 H), menyebut hanya ada 21 ayat saja. Di belakang hari, al-Dihlawi meneliti secara cermat, untuk pada akhirnya menemukan hanya 5 ayat saja.

Sedangkan, Husein Muhammad melanjutkan, Abu Muslim al-Isfahani (1277-1365) merupakan tokoh paling populer yang menolak adanya naskh dalam Al-Qur’an. Menurutnya, benar bahwa Al-Qur’an menyebutkan kata-kata naskh (penghapusan) atas sebuah "ayat", sebagaimana dalam firman Allah: “maa nansakh min aayah", yang bukan berarti penghapusan teks Al-Qur’an. Makna 'ayat' dalam hal ini adalah tanda keagungan Allah, mukjizat (hal. 42).

Toleransi antar agama

Sa'dun yang merupakan katib syuriyah PBNU ini meletakkan dialog antar agama sebagai pendulum utama bergeraknya narasi. Sa'dun mengungkapkan bahwa sebenarnya Islam dan Kristen masih satu trah dari Ibrahim. Hal ini didasarkan pada riset Prof Dr KH Said Aqil Siroj (2006). "Agama Kristen lahir sebagai agama samawi melalui Nabi Isa, sedangkan Islam melalui jalur Nabi Muhammad. Dua tokoh ini, bertemu dalam satu induk dengan sosok Ibrahim, yaitu dari jalur Nabi Isa yang masih keturunan Ishaq, salah seorang putra Ibrahim, yang kemudian menurunkan Bani Israil (bangsa Yahudi, putra-putri Nabi Ya'qub). Sementara Nabi Muhammad merupakan keturunan Isma'il, saudara seayah dari Ishaq, yang kemudian menjadi rujukan silsilah bangsa Arab (hal. 51).

Dalam buku ini, Sa'dun tonggak argumentasi pada sejarah sekaligus perdebatan dalam abrograsi agama. Hal ini, terletak pada penafsiran ayat Al-Qur’an, QS Al-Baqarah (2: 62). Menurut Alumni Pesantren Babakan Ciwaringin ini, kalangan mufasir berdebat dalam dua kubu, menyikapi ayat ini. Kelompok pertama, kalangan ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini sudah di-mansukh oleh QS Ali Imran (3: 85). Kelompok ini, terdiri dari mayoritas penafsir klasik, semisal al-Thabari (w. 256H), Ibn Katsir (w. 774 H), Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H). Mereka mendasarkan argumentasinya pada riwayat Syekh Ibn 'Abbas (w. 68 H).

Sementara, kelompok kedua tidak mengakui adanya abrogasi naskh tersebut. Alasannya, kelompok ini menyatakan bahwa ayat QS Ali Imran (3: 85), justru sejalan dengan QS Al-Baqarah (2: 62), yang bermakna bahwa keselamatan di dunia akhirat bukan karena jinsiyyat al-diniyyah (faktor agama yang dipeluknya), melainkan karena keimanan, amal baik, dan kemanusiaan (hal. 59).

Dalam karya ini, Sa'dun menitikberatkan kajiannya pada tafsir-tafsir ayat Al-Qur’an tentang polemik naskh ekstra-Qur'anik, yang efeknya memunculkan doktrin penghapusan agama-agama pra-Islam (Yahudi, Kristen, Majusi dan Sabiah) oleh Islam.

Ia merumuskan beberapa kesimpulan, terkait dengan penolakannya terhadap naskh intra-Quranik dan naskh ekstra-Qur'anik. Pertama, risalah yang dibawa Nabi Muhammad tidak bisa menghapus (mengabrogasi) agama-agama terdahulu. Kedua, ayat QS al-Baqarah (2: 62), tetap operatif dan tidak dapat di-naskh oleh QS Ali Imran (3: 85). Ketiga, Sa'dun menyatakan bahwa, ayat al-Baqarah (2: 106) yang selama ini menjadi rujukan naskh intra-Qur'anik, dalam risetnya tidak bisa dijadikan justifikasi atas penghapusan agama-agama pra-Islam (naskh ekstra-Qur'anik), sebagaimana penafsiran naskh dari Muhammad Abd al-Jabiri (w. 1995 M). Keempat, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, agama hanya disebut Islam, sedangkan ajaran-ajarannya berjalan dinamis (hal 237-239).

Dalam konteks ini, jika agama bersifat universal dan meliputi banyak syariat, maka syariat bersifat temporer. Syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad dimaknai sebagai penyempurna dari syariat-syariat yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu. Demikian pula, Nabi Muhammad bukan menganulir syariat-syariat dari agama sebelumnya, akan tetapi menyempurnakan dan menghimpunnya menjadi satu kesatuan yang kuat dalam satu agama (din wahid).

Karya riset Sa'dullah Affandy dalam tema ini, memberi sumbangan khusus bahwa tafsir Al-Qur’an tentang abrograsi agama tidak sepatutnya menjadi alasan untuk menolak NKRI sebagai landasan prinsip kebangsaan. Dari risetnya, Islam menjadi agama penyempurna, yang bukan berarti menganulir syariat, nilai dan kaidah hukum agama-agama sebelumnya. Dengan demikian, sudah selayaknya kaum Muslim memandang pemeluk agama-agama lain, dalam jembatan komunikasi antar agama dan toleransi kemanusiaan.

Data buku

Judul : Menyoal Status-Status Agama Pra-Islam
Penulis : Dr. Sa'dullah Affandy
Penerbit : Mizan, Jakarta
Cetakan : I, 2015
Tebal : 282 hal.
ISBN : 978-979-433-877-3
Oleh: Munawir Aziz, peneliti, pengurus LTN PBNU


Terkait