Bernama lengkap KH Muhammad Shalih bin ‘Umar As-Samarani atau yang kemudian
dikenal dengan Mbah Sholeh Darat, adalah ulama terkemuka pada peralihan abad
ke-20. Beliau merupakan maha guru para ulama besar di tanah Nusantara, seperti
KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang, Pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan
(Yogyakarta, Pendiri Muhammadiyah), KH Mahfuzh (Tremas), KH. Amir (Pekalongan),
Kiai Idris (Surakarta), hingga Kiai Penghulu Tafsir Anom (Keraton Surakarta).
Di samping sebagai pengajar, Mbah Sholeh Darat juga dikenal sebagai penulis
profilik kitab-kitab keagamaan dengan menggunakan aksara Arab dalam bahasa Jawa
atau masyhur disebut Arab Pegon (billisanil jawi al-mirikiyyah). Kitab
yang diterjemah dan disadur diantaranya adalah Matan Al-Hikam karya Ibnu
‘Atha’illah Al-Iskandari (1250 M-1309 M). Tujuan penulisan Arab Pegon yang
dilakukan Mbah Sholeh tak lain agar dipahami kalangan awam, terlebih kitab
Al-Hikam ini dikenal mengandung bahasan yang sulit, tinggi, serta mendalam.
Buku Syarah Al-Hikam ini begitu terang dalam melakukan terjemahan ke teks
bahasa Indonesia. Selain itu, buku ini juga menyertakan teks asli dari
tulisan Mbah Sholeh Darat (Arab Pegon), sehingga pembaca yang menguasai Jawa Arab Pegon bisa langsung melakukan kroscek apa dan bagaimana kalam yang
telah Mbah Sholeh tafsiri. Karena bisa jadi hasil terjemah tidak sesuai ketika
kita merujuk langsung kepada redaksi aslinya.
Kitab Syarah Al-Hikam yang disyarahi Mbah Sholeh Darat ini menjadi salah
satu bacaan wajib bagi siapapun, terutama yang ingin mendalami secara lebih
kajian-kajian tentang tasawuf, baik yang falsafi maupun amali. Karena di
dalamnya begitu terang—baik secara eksplisit—menjelaskan tahapan-tahapan
mengenai syari’at, tarekat, dan hakikat. Sehingga kalangan awam dapat
mencernanya dengan baik.
Salah satu contoh kajian tasawuf, pada hikmah pertama, sebagaimana yang
disusun Ibnu ‘Atha’illah menyebutkan, min ‘alamaatil i’timaadi ‘ala
al-‘amal, nuqshonu ar-Raja’ ‘inda wujuudi al-zalal” (diantara
tanda-tanda bahwa seseorang bertumpu pada kekuatan amal usahanya ialah
kurangnya pengharapan (terhadap rahmat anugerah Allah) ketika terjadi padanya
suatu kesalahan atau dosa).
Menariknya, Mbah Sholeh Darat memberikan beberapa contoh, misalnya. Bahwa
amal kita di dunia ini tidak akan mampu menjamin keselamatan seseorang. Karena
baik iman ataupun kufur, masuk surga atau masuk neraka, itu semua berkat fadhal (karunia)
dan keadilan Allah Swt semata (hlm 3).
Untuk memperkuat hikmah tersebut, Mbah Sholeh Darat menghadirkan kisah
Pendeta Bala’am bin Ba’ura dan Qarun, keduanya merupakan orang ahli ibadah,
sementara Qarun sendiri adalah ulama Bani Israil. Namun, dalam ajalnya,
keduanya mati dalam keadaan kafir (tidak beriman). Sementara Sayyidah Asiyah
binti Muzahim, walaupun menjadi istri Fir’aun—sebagaimana diketahui bahwa
Fir’aun adalah penguasa yang zalim, mengaku sebagai Tuhan, sekaligus juga musuh
utama Nabi Musa—namun, pada kenyataannya, istri Fir’aun itu menjadi kekasih
Allah. Bahkan, Mbah Sholeh Darat menyebutkan Saayidah Asiyah tersebut pada
akhirnya nanti akan menjadi istri Rasulullah Saw saat di surga. Selain itu
masih banyak yang dicontohkan oleh Mbah Sholeh atas syarahnya kitab Al-Hikam
ini.
Meski demikian, buku Syarah Al-Hikam ini tidak secara menyeluruh mensyarahi
matan Al-Hikam karya Ibnu ‘Atha’illah. Mbah Sholeh Darat hanya meringkas sekira
2/3 atau 137 pesan hikmah dari 264 hikmah. Dengan tujuan, supaya masyarakat
awam lebih mudah mempelajari serta mengamalkan.
Mbah Soleh yang juga dikenal sebagai guru RA. Kartini ini, mulai melakukan
penerjemahan pada tahun 1289 H/1868 M. Walaupun dengan jarak yang relatif lama
tersebut, tidak kemudian buku ini menjadi usang, tidak menarik untuk
didiskusikan kembali. Justru, semakin lamanya kitab itu dikarang, semakin
menarik untuk dibaca dan dikaji ulang. Lebih-lebih, ketika dihadapkan pada
dunia modern saat ini.
Mengingat kitab Al-Hikam adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap realitas
dunia yang terjadi saat ini. Di era globalisasi seperti sekarang, kita tidak
bisa lepas dari pergaulan global yang keras, saling sikut sana-sini. Dan dunia,
yang konon dapat menjauhkan diri dari Tuhan, oleh sebagian orang (terutama dari
kalangan sufi), sebisa mungkin untuh dijauhi dan ditinggalkan, yakni dengan
melakukan suluk zuhud (meninggalkan dunia).
Namun, disatu sisi, masyarakat kita dituntut agar mampu bersaing di ranah
kancah dunia. Umat Islam selama ini jauh tertinggal dari umat-umat yang lain,
dengan alasan melakukan zuhud tadi. Hatinya tidak ingin tercampur dengan urusan
duniawi. Dunia yang dapat melengahkan dan memperbudak manusia. Namun, bagi Ibnu
‘Atha’illah, profesi dan mencari dunia (sandang, pangan, dan papan) itu
penting. Sebagai kendaraan (washilah) untuk menuju rasa syukur kepada
Allah. Pemahaman-pemahaman seperti inilah yang perlu diluruskan, supaya umat
Islam tidak gagal paham, kemudian mengasingkan diri sepenuhya kepada
dunia.
Mengutip pendapat Gus Dur, kitab Al-Hikam telah menginspirasi lahirnya nama
Nahdhatul Ulama. Organisasi Islam terkemuka di dunia ini terilhami dari kalimat
Ibnu ‘Atha’illah, “Lataskhab man la yunhidhuka illahhi haaluhu wa laa
yadulluka ilahhi maqooluhu” (janganlah engkau jadikan sahabat atau guru
orang yang amalnya tidak membangkitkan kamu kepada Allah). Kata ‘yunhidu’
yang berarti membangkitkan pada kalimat tersebut, itulah inspirasinya. Siapa
lagi yang bisa membangkitkan kalau bukan para ulama (hlm xvi).
Terlepas dari itu semua, petuah-petuah hikmah dan bijak bestari yang sudah
digubah oleh Ibn ‘Atha’illah, yang kemudian disyarahi Mbah Sholeh Darat ini,
wajib kiranya dihadirkan kembali untuk menjaga warisan budaya dan pemikiran
para pendahulu, ulama nusantara.
Data Buku:
Judul Buku : Syarah
Al-Hikam
Penulis : KH.
Sholeh Darat
Penerbit : Sahifa
Cetakan : Pertama,
Januari 2016
Tebal : 396
halaman
ISBN : 978-602-1361-61-0
Peresensi : Muhammad Autad An
Nasher, Aktivis Jaringan Gusdurian Indonesia