Risalah Redaksi

Asing

Kamis, 29 Oktober 2009 | 07:58 WIB

Hubungan antar bangsa itu telah berjalan sedemikian lama sepanjang sejarah manusia, ada perang ada damai, sepanjang-panjang perang damai jauh lebih panjang. Hubungan antar bangsa itu telah diatur oleh tradisi sedemikian rupa sehingga saling menghormati, tetapi ketika semangat kolonialisme dating maka hubungan tidak lagi setara tetapi telah menjadi kuasa menguasai, dan tindas-menindas, peras memeras dan tipu-menipu, sebagaimana yang umum terjadi saat ini.

Dalam suasana begini perasaan keadilan mulai bicara bukan karena benci kepada bangsa asing tetapi mengutuk perilaku dan kejahatannya. Ketika hamper semua negara merdeka di awal abad ke dua puluh hubungan antar negara menjadi harmoni dan setara kembali. Tetapi ketika kapitalisme kembali menjarah dunia ketiga bekas jajahan, maka eksploitasi dan represi satu bangsa terhadap bangsa lainnya satu negara terhadap Negara lainnya berjalan kembali melalui cara yang lebih halus, melalui berbagai traktat internasional, perjanjian bilateral yang dipaksakan atas nama keterbukaan dan hubungan antar bangsa.<>

Hal itu kentara sekali terjadi di seluruh belahan dunia ketiga di mana proses nasionalisasi yang dilakukan dengan gigih pada awal kemerdekaan, tetapi mulai tahun 1970-an mulai dilakukan usaha swastanisasi atau asingisasi. Seluruh sector strategis kehidupan secara bertahap dikuasai kembali oleh asing, persis ketika zaman penjajahan.

Ketika sector industri strategis di Indonesia, sector energi dan sector pangan  termasuk sector keuangan saat ini telah dikuasai asing, maka sebenarnya pemerintah dan bangsa ini telah kehilangan kedaulatan. Sektor keuangan telah dikendalikan asing, sehingga Bank Indonesia sebagai Bank sentral tidak lagi menguasai masalah financial, akhirnya bank asing bebas mengeruk kantong rakyat hingga ke desa-desa yang kemudian dialirkan ke negara asalnya.

Belakangan ini malah kita dengar akan segera disahkan undang-undang swastanisasi perum pegadaian, sehingga perusahaan asing bisa masuk ke sector ini. Padahal lembaga ini yang selama ini melayani masyarakat kecil dengan memberikan sumbangan kecil dan dengan cara mudah dan bunga rendah karena bermotif social. Sebaliknya kalau dipegang swasta dan asing lagi maka bisa dibayangkan rakyat akan diperas, harta jaminan akan dilelang dan hasil lelangan tidak dikembalikan pada pemiliknya.  Dan ini akan menyengsarakan rakyat.

Kalau selama ini para nelayan dilindungi dengan adanya larangan terhadap beroperasinya pukat harimau yang menyapu bersih biot laut sehingga nelayan kalah bersaing. Tetapi belakangan ini pemerintah akan memberikan peluang pada nelayan asing untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Bersaing dengan nelayan besar sendiri saja kelompok nelayan kecil tidak mampu apalagi ketika harus bersaing dengan nelayan asing yang kapasitas tangkapannya lebih besar dan industri pengawetan serta pengolahannya lebih canggih, maka dipastikan nelayan Indonesia besar dan kecil akan gulung tikar. Ketika semua sector baik yang strategis maupun sector rakyat telah diserahkan asing, maka bangsa ini akan kehilangan lapangan kerja, ini berarti pengangguran yang berarti juga kemiskinan.

Memang belakangan ini dengan adanya ajaran penghormatan sesama manusia dan pluralisme telah diselewengkan sedemikian rupa. Prinsip menghormati orang asing telah diterjemahkan dengan prinsip mengutamakan orang asing bahkan memanjakan orang asing agar tidak dituduh xenophobia (anti asing) yang ini merupakan sikap terkutuk dalam pluralisme. Tetapi dalam pengalaman perilaku perusahaan asing di sini adalah sama-sama tidak profesional, sering mengemplang pajak, tidak toleran terhadap persoalan kemasyarakatan. Mereka hanya berbisnis tanpa memberi kontribusi pada rakyat dan negara.

Bangsa kita mulai harus disembuhkan yang kejangkitan demam asing , menganggap yang asing serba unggul, sehingga melupakan keunggulan bangsa sendiri. Sehingga mereka tidak mandiri dalam berpikir bersikap dan bertindak. Saat ini segala urusan bangsa diserahkan pada asing, soal mengurusi pendidikan, mengurusi kebutuhan air bersih. Walaupun pendidikan melonjak sedemikian besar, tetapi kalau masyarakat terdidik hanya didik sebagai karyawan, maka mereka tidak akan bisa memimpin dirinya sendiri apalagi bangsanya sendiri.

Dalam situasi parah seperti ini memang perlu kembali mengetengahkan program character building (pembangunan watak). Bangsa ini banyak cerdik pandai tetapi karena tidak memiliki watak, tidak memiliki kepribadian, maka hidupnya seperti robot, seperti boneka orang asing, sehingga seluruh perilakunya ditentukan oleh bangsa lain. Tidak memiliki aspirasi sendiri. Walaupun orang tidak memiliki pendidikan tinggi tetapi kalau memiliki karakter maka mereka akan mampu memimpin dirinya sendiri dan memimpin bangsanya. Seharusnya kaum terpelajar sekaligus memiliki karakter sehingga bisa tampil dengan penuh percaya diri dan selanjutnya mampu menjadi pemimpin bagi bangsanya sendiri. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait