Risalah Redaksi

Bencana

Kamis, 15 Oktober 2009 | 08:17 WIB

Seringkali para pimpinan PBNU mengingatkan warganya agar selalu mendekatkan diri kepada Allah, sebab persoalan yang dihadapi bangsa ini sangat besar. Usaha manusaia penting tapi karena persoalan yang ada jauh lebih berat ketimbang kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan sendiri, maka permohonan pertolongan kepada Allah merupakan cara paling bijak untuk menyertai berbagai usaha lahiriah yang dilakukan.

Selain itu, PBNU juga mengingatkan bahwa bangsa ini juga sedang dalam ancaman, sebab kejahatan, kerusakan dan kemungkaran yang terjadi di tengah bangsa ini telah memenuhi syarat rukunnya untuk mendapat bencana. Tetapi hanya karena kemurahan Allah, berkat syafaat Nabi Muhammad, umat ini masih selamat. Seandainya kita adalah umat Nabi lain, pasti sudah dihancurkan.<>

Melihat kenyataan seperti itu, maka korekasi diri dan kembali ke jalan yang benar merupakan langkah menuju keselamatan.

Belum lagi peringatan itu berlangsung lama, berbagai bencana seperti gempa bumi susul menyusul yang menelan ratusan korban. Tetapi sekali lagi sangat disayangkan terjadinya bencana alam, baik tanah longsor, banjir, gempa bumi dianggap sebagai kejadian alam biasa yang terjadi secara teknis alamiah. Tidak pernah dianggap sebagai peringatan bahkan hukuman. Demikian pun kalangan agamawan sekedar untuk menyenangkan korban menganggap ini sebagai cobaan untuk meningkatkan derajat.

Selama ini agama telah dihumanisasi, sehingga fungsi agama hanya sebagai pembawa basyirah (kabar gembira), peran agama sebagai nadzirah (peringatan) tidak mendapatkan tempat bahkan dihindarkan, karena dianggap akan menodai nilai agama karena memperkenalkan siksaaan dan kekerasan. Ini dianggap melanggar nilai humanistik. Maka yang terjadi saat ini, pelaksanaan antara amar ma’ruf nahi munkar tidak berimbang.
 
Kegiatan umat lebih diarahkan kepada amar ma’ruf (mengajak kebaikan) tetapi tugas untuk  nahi munkar (mencegah kejahatan) diabaikan, akhirnya kejahatan merajalela di manaa-mana. Mencegah dan melarang seseorang melakukan kejahatan dianggap melanggar privasi dan ini sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia lagi. Sementara pelanggaran terhadap norma, hukum dan tata nilai telah dianggap biasa, bahkan jerat hukum yang paling ketat serba bisa diakali. Banyak penjahat yang lepas dari jerat hukum dan bebas kembali melakukan  kejahatan.

Ketika manusia tidak lagi bisa menjalankan hukum dan keadilan yang diamanatkan, maka rupanya Tuhan dengan mengguanakan sarana alam, mengeksekusi manusia dengan caranya sendiri, yaitu dengan menurunkan bencana. Sehingga orang yang terlibat dan tidak terlibat kejahatan terkena akibatnya semua. Karena itu Islam menganjurkan seseorang untuk hijrah ketika situasi sosial telah sedemikian bejat agar tidak tertular.

Melihat hukum agama dan hukum alam yang diabaikan oleh masyarakat sendiri, termasuk para agamawan dan penegak hukum. Maka belakangan, terlihat masyarakat dengan kepekaanya sendiri mencari cara untuk menyingkap rahasia bencana. Setiap terjadi bencana dicatat jam dam menitnya, yang kemudian   dijadikan sebagai petunjuk mencari makna bencana yang terjadi. Jam sebagai simbol surat sementara menit sebagai simbol ayat. Pengecekan terhadap surat dan ayat Al-Qur’an menunjukkan adanya peringatan Tuhan terhadap kaum yang durhaka dengan menurunkan bencana.

Cara itu bisa dianggap terlalu spekulatif, tetapi apa pun caranya, bahwa Al-Qur’an terus menerus memberikan peringatan pada umat manusia agar selalu bertakwa. Peringatan Al-Quran itu berlaku sepanjang masa, sebagaimana dengan kaum yang lain, bahwa Tuhan akan memusnahkan para pendurhaka dengan mendatangkan bencana. Ini sebagai bentuk tandzir (peringatan) pada manusia agar mentaati perintah dan aturan serta norma yang ada.

Karena setiap bencana alam merupakan akibat dari bencana moral. Karena itu Majelis Ulama Sumatera Utara mengingatkan semua pihak agar tidak memanfaatkan bencana untuk mencari keuntungan dengan dalih menjadi sukarelawan dan sebagainya. Karena tindakan itu akan memicu bencana yang lebih besar.
Peringatan dan hukuman Tuhan ini sudah selayaknya menjadikan manusia menyadari terhadap salah dan dosanya, baik yang bersifat pribadi maupun dosa kolektif. Dengan memahami ini sebagai hukuman, maka seseorang akan introspeksi. Sebaliknya kalau hanya dipahami secara teknis sebagaimana pemahaman kaum ateis, maka bencana ini tidak mengandung peringatan apapun, karena peristiwa alam biasa.

Orang beriman akan menjadikan bencana-bencana ini sebagai peringatan untuk menjaga perilaku dan tindakan, agar bencana yang lebih besar tidak terjadi. Manusia hendaknya menyadari  dan memohon ampunan pada-Nya, dengan tidak melakukan kejahatan dan kerusakan di bumi. Karena ketika manusia telah bersepakat untuk jahat dan tidak lagi mengangkat keadilan, maka Tuhan turun tangan untuk menegakkan keadilan melalui tangan-tangan alam. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait