Risalah Redaksi

Berdikari

Kamis, 16 Oktober 2008 | 08:35 WIB

Mengapa berbagai negara bertempur habis-habisan melawan pemerintah penjajahan, kalau tidak ada cita-cita untuk merdeka dan berdaulat, menjadi bangsa yang bisa berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Negara terjajah atau menjadi negara boneka tidak bisa berdikari, sementara berdikari merupakan asas untuk memperoleh kesejahteraan. Karena itu perang kemerdekaan dilakukan oleh kaum nasionalis.

Bangsa manapun, dengan kultur apapun memiliki prinsip bahwa kemandirian merupakan asas memperoleh kesejahteraan, dalam Islam dikenal dengan prinsip al i’timadu alan nafsi asasun najahi (berdiri di atas kaki sendiri merupakan pangkal kebahagiaan). Tetapi aneh bangsa modern yang terpelajar tidak lagi percaya pada prinsip semacam itu, dengan dalih bahwa hidup tidak lagi mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi saling bergantung, maka ketergantungan pada bangsa lain menjadi sangat tinggi dan menjadi tumpuan utama kehidupan sebuah bangsa.<>

Bangsa ini telah melihat kehancuran negeri sendiri setelah para elite menjual seluruh aset negara, sebagai upaya swastanisasi. Mereka tidak mau tahu bahwa dengan swastanisasi itu negara telah mengalami kebangkrutan, dan bangsa juga mengalami kelumpuhan. Tetapi nafsu untuk menjual asset negara masih sangat besar, bahkan sudah ditarget dengan pasti. Mereka begitu bersemangat dan tidak merasa bersalah dengan langkah itu karena telah dilegitimasi oleh konstitusi, SU MPR tahun 1999 telah mengiuzinkan swastanisasi sebagai bagian dari upaya reformasi ekonomi. Tindakan keliru yang dilakukan para elite politik yang melakukan amandemen UUD 1945 itu merupakan pengkhianatan terhadap rakyat dan negara.

Sudah jelas bahwa menjual asset negara itu sama dengan menjual negara itu sendiri, karena itu menyengsarakan rakyat. Negara yang sadar seperti Rusia dan negara-negara Amerika Latin segera melakukan Nasionalisasi perusahaan negara yang dijarah oleh swasta. Hasilnya mengejutkan negara mendadak menjadi kaya, bisa membiayai pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan umum. Para politisi Indonesia mestinya bisa belajar pada negara lain seperti Rusia, Cina dan Amerika Latin itu.

Penjualan asset negara berupa kapal tanker raksasa beberapa waktu yang lalu ternyata hanya akal-akalan pejabat yang mau cari untung. Kertika untung tidak merata kemudian diributkan bahwa penjualan tidak sah dan merugikan negara. Tetapi setelah masuk pengadilan semua dipetieskan. Lalu penjualan asset yang lain terus berjalan dilakukan pemerintah bersama partai-partai politik yang ingin mengumpulkan kekayaan untuk membiayai partainya. Demokrasi liberal kapitalis menjadikan biaya politik sangat mahal, dan hanya bisa ditutupi melalui korupsi. Bila demikian halnya, maka korupsi itu telah manjadi bagian dari demokrasi liberal. 

Memang para politisi kita disuguhi oleh dalil sesat bahwa good government is less gouvernen (pemerintah yang baik adalah yang sedikit berkuasa). Para aktvis demokrasi mengira kalau mengurangi kekuasaan pemerintah dan negara kekuasaan akan jatuh ke tangan mereka. Tidak. Kekuasaan akan jatuh ke tangan pemilik modal. Pemilik modal terutama asing sangat risau kalau ada pemerintahan yang kuat dan berkarakter. Menghendaki semua pemerintah menjadi boneka mereka.

Kemudia mereka mengajarkan pada masyarakat bahwa musuh mereka adalah negara, dan nuntuk menjadi manusia modern harus bersifat kosmopolis dengan demikian harus menafikan segala bentuk komitmen kebangsaan. Ini yang dialami oleh apara ektivis pro demokrasi saat ini. Mereka mengejar demokrasi prosedural yang formal, tetapi mengingkari substansinya yaitu terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Sementara kesejahteraan hanya bisa dibangun oleh bangsa sendiri secara mandiri.

Karena kesejahteraan akan tercipta bila sebuah bangsa memiliki kemandirian, sementara kemandirian disamping mandiri secara pemikiran, mandiri secara politik, juga sangat penting sebuah bangsa mandiri secara ekonomi. Kemandirian secara ekonomi ditandai dengan penguasaan negara atas seluruh asset strategis. Dengan dikuassi negara maka hasilnya bisa diasarufkan unuk kemaslahatan masyarakat banyak. Negara memang alatnya rakyat untuk melayani kepentingan mereka.

Dengan demikian  tidak ada istilah subsidi karena seluruh dana yang ada di negara itu kepunyaan rakyat, digunakan untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara sesuai dengan kebutuhan semuanya. Hanya bangsa yang berdikari yang bisa menjalankan prinsip sederhana ini. Tetapi karena terlalau banyak orang telah dikacaukan oleh pendidikan modern, sehingga tidak mampu lagi memahami prinsip dasar berbanngsa dan bernegara ini. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait