Pada setiap musim puasa Ramadhan, kegiatan belajar-mengajar formal di pondok-pondok pesantren diliburkan. Namun para santri justru sangat sibuk. Ada pengajian Ramadhan yang biasa dikenal dengan ngaji posonan, ngaji kilatan atau ngaji pasaran yang digelar di setiap waktu; sejak selepas shalat subuh, pagi, menjelang dzuhur, ba’da dzuhur, setelah ashar, jelang buka puasa, dan bahkan selepas tarawih kitab yang dikaji bisa lebih dari satu.<>
Bagi para santri, bulan Ramadhan adalah kesempatan emas untuk mendapatkan sebanyak mungkin referensi kitab kuning. Para santri yang “anti kemapanan” memanfaatkan momentum Ramadhan untuk mengkaji sebanyak mungkin kitab tingkat tinggi yang tidak diajarkan di kelasnya. Tidak sekedar memaknai banyak kitab sampai khatam, mereka juga secara resmi akan menerima “ijazah” atau mandat secara langsung dari seorang kiai untuk dapat mempelajari lebih lanjut dan mengamalkan kitab yang tidak dikaji.
Dalam tradisi pesantren, transfer ilmu pengetahuan tidak hanya dilakukan melalui proses knowledge, tetapi juga melalui proses spiritual, yang dikenal dengan tawassul. Dengan mengikuti pengajian Ramadhan secara tuntas dan mendapatkan ijazah langsung dari kiai atau ustadz yang membacakan kitab, berarti santri telah menyambungkan sanad atau genealogi keilmuan kepada guru-gurunya, sampai kepada mushonnif atau pengarang kitab yang sedang dikaji, lalu sampai ke guru-guru mushonnif, bahkan sampai ke Nabi Muhammad SAW.
Maka di bulan Ramadhan Ramadhan para santri tidak menyia-nyiakan waktu. Pada waktunya, mereka langsung beranjak mendatangi tempat pengajian para kiai di rumah, masjid, atau di ruang-ruang kelas. Sajadah digelar setengah lipatan dan mereka langsung duduk bersila. Kitab kuning ada di pangkuan mereka, serta bopoin atau pensil sudah siap di genggaman.
Dalam tradisi pesantren juga sangat dikenal istilah berkah atau barokah. Tidak mudah menerjemahkan istilah ini ke dalam bahasa Indonesia. Para santri mempunyai cara sendiri-sendiri untuk tabarruk atau ngalap berkah, misalnya dengan rutin mengikuti pengajian dengan mendatangi tempat mengaji sebelum kiai datang, pilihan posisi meletakkan sajadah dan duduk di tempat sang sama (istiqomah) saat mengaji serta kalau memungkinkan duduk berdekatan dengan kiai, atau dapat bersalaman dengan kiai setiap selesai mengaji, dan seterusnya. Dengan begini, para santri tidak sekedar menjalani proses transfer keilmuan, tetapi juga mendapatkan limpahan berkah atau kebaikan lebih dari Allah SWT dengan perantaraan kiai.
Sekarang, bagaimana dengan pengajian online? Ya, mengaji jarak jauh. Apakah para santri yang mengikuti pengajian di depan laptop dengan posisi duduk semuanya, terkadang sambil makan minum dan bergurau bersama keluarga di rumah, dan terkadang terlambat karena jaringan internet sedang down tetap sah mendapatkan sanad keilmuan dan tetap mendapatkan berkah?
Seorang panitia pengajian di salah satu pesantren di Jawa Tengah, mengeluh, sejak pengajian kiainya disiarkan langsung oleh NU Online melalui fasilitas radio streaming di alamat radio.nu.or.id dan apalagi diteruskan live oleh radio-radio lokal, para santri dan alumni pesantren serta masyarakat yang mengikuti pengajian di halaman pesantren berkurang. Mereka lebih senang mengikuti pengajian lewat internet atau siaran radio.
Memang perkembangan teknologi tidak bisa dihindari. Tahun ini NU Online tidak sekedar menyiarkan pengajian Ramadhan dari kantor PBNU Jakarta, namun juga dari berbagai pesantren seperti Pesantren Tambak Beras, Lirboyo, Kajen, dan Rembang bersama para kiai kharismatik. Beberapa pesantren lain dan alumninya juga mengusulkan, pengajian kiai mereka juga disiarkan langsung.
Ternyata peminat pengajian online sungguh luar biasa. Pada waktu-waktu padat para peserta yang terlacak dalam sistem informasi NU Online membludak sehingga harus berebut dengan yang lain untuk mendapatkan akses pengajian.
Rencananya, pengajian online ini akan ditradisikan tidak hanya di bulan Ramadhan. Tim redaksi NU Online akan menyisir pengajian-pengajian penting di berbagai pesantren dan menyiarkannya melalui fasilitas radio streaming yang tersedia. Tidak hanya pengajian, beberapa forum diskusi atau halaqah keilmuan yang penting dari berbagai daerah di tanah air akan disiarkan melalui radio ini.
Sekali lagi, perkembangan teknologi tidak bisa dihindari. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj beberapa kali mengingatkan, saat ini umat Islam dan bahkan umat manusia di dunia sudah berada di era teknologi informasi. Maka berbagai metode pendidikan dan dakwah juga harus mengikuti perkembangan ini. NU selalu meneguhkan diri sebagai kaum tradisional, yang terus memelihara tradisi. Maka dengan ini NU Online menyatakan bahwa teknologi informasi pun juga perlu ditradisikan. Jika tidak, maka NU akan di tinggal zaman.
Kembali ke pengajian online, apakah dengan mengikuti pengajian online para santri yang tersebar di banyak tempat, di desa-desa dan di kota-kota akan tetap mendapatkan berkah? Dengan niat yang tulus untuk menimba ilmu kepada para kiai, maka kita berharap keberkahan akan tetap diraih dari jauh.
A. Khoirul Anam