Pada acara reality show yang diselenggarakan beberapa televisi swasta menunjukkan bahwa orang yang memiliki solidaritas terhadap orang cacat fakir miskin yang sangat membutuhkan pertolongan bukanlah kalangan berada. Justru yang menolong kaum cacat yang papa itu adalah dari kelas mereka sendiri. Walaupun kondisi fisik dan keuaangan mereka sangat terbatas, tetapi mereka memiliki kepedulian terhadap orang yang sengsara. Orang kaya dan Negara tidak peduli pada mereka, mereka dipandang dengan sikap angkuh dan penuh rasa jijik. Jangankan menolong, melihat pun mereka tak mau. Sebaliknya, keangkuhan dan ketidakpedulian yang mereka tunjukkan. Para pejabat dan orang kaya hanya mau menolong kalau ada ekspos, sebagai salah satu bentuk promosi, yang sebenarnya mereka mengharapkan lebih banyak balasan dari apa yang mereka berikan. Ada kelompok lain yang tak kalah jahatnya, kelompok fakir miskin itu ditolong tetapi sebenarnya hanya menjual nasib mereka. Sedikit yang diberikan pada fakir miskin tetapi sebagaian besar mereka ambil sendiri. Sebenarnya mereka ini tidak peduli pada fakir miskin, tetapi hanya peduli pada diri sendiri, kaum miskin sekadar alat untuk mencari rezeki.<>
Bahkan ada fenomena menarik belakangan ini, ketika semua usaha kecil ditutup terutama yang ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah, mulai dari pabrik rokok, pabrik roti, pabrik kecap, pabrik minuman. Tidak ada cara lain bagi bekas pengusaha dan buruh pabrik skala rumahan itu kecuali bertahan hidup. Cara bertahan hidup mereka bermacam-macam yang punya modal uang, menjadi pedagang asongan, yanag punya modal suara ngamen, yang punya modal ceramah, dia menjadi peminta-minta dana untuk masjid, yang tidak punya modal apapun, lalu jadi pengemis.
Mereka itu beroperasi bukan di supermarket, bukan di bis atau di kereta eksekutif, mereka beroperasi di pasar tradisional dan kereta dan bus ekonomi. Jumlah mereka sangat banyak sehingga sangat merepotkan pada pedagang kecil, tetapi mereka harus meberi dengan alasan yang beraneka ragam. Begitu pula di sepanjang perjalanan bis ekonomi dan terutama kereta, dari Surabaya ke Jakarta atau sebaliknya, akan diributi oleh barisan pengamen, pengasong, pengemis dan sebagainya.
Dengan berbagai alasan para penumpang kelas ekonomi dan bisnis yang uangnya tidak seberapa itu harus mengasih mereka satu persatu, sehingga ongkos untuk pengemis dan pengamin jauh lebih mahal ketimbang ongkos bus atau kereta itu sendiri. Ini kenyataan yang aneh tetapi benar-benar terjadi di republik yang negaranya telah merdeka ini.
Ini membuktikan sekali lagi bahwa orang miskin yang telah kehilangan pekerjaan karena lahan usahanya direbut oleh kapitalis besar, pabrik rokok multinasional, supermarket internasional, juga pabrik minuman raksasa. Mereka tidak ditolong pemerintah, tidak disantuni kaum kaya. Tetapi mereka menumpang pada sesama kaum miskin yang hidupnya serba pas-pasan, tetapi mereka memiliki solidaritas tinggi, karena mereka merasakan betapa pedihnya kehidupan mereka.
Sementara kaum kaya tidak mampu merasakan penderitaan mereka, karena itu tak mungkin bisa memahami dan menghayati. Ketika puasa diwajibkan agar mereka merasakan pedihnya kaum miskin, ternyata sarana itu tidak mempan. Malah puasa dijadikan sarana untuk melampiaskan segala nafsu duniawi, nafsu makan, nafsu berpakaian dan nafsu berpesta. Solidaritas dan kepedulian tetap tidak tumbuh.
Di tengah kepapaan rakyat seperti itu, harga terus dinaikkan, bahkan tempat usaha rakyat terus menerus digusur tanpa ampun, yang katanya melanggar tata ruang. Kalau alasannnya seperti itu supermarket mana yang tidak melanggar tata ruang, tetapi dibiarkan terus beroperasi. Dalam system Negara kapitalis, rakyat memang dianggap beban, kalau Negara kita masih menggunakan system kapitalis, kolonial yang antirakyat ini, maka tidak pernah ada kesejahteraan bagi rakyat. Negara hanya milik para pemilik modal serta para pejabat.
Sistem yang tidak adil dan timpang ini mesti segera diganti agar sesuai dengan cita-cita proklamasi, yaitu rakyat bisa hidup damai sejahtera. Tidak terus-menerus dihantui oleh penggusuran dan kenaikan harga. Negara sebenarnya tidak perlu membantu banyak rakyat dalam hal usaha, kalau saja Negara mau melindungi mereka dari serangan kaum capitalis baik yang pribumi dan terutama yang asing, rakyat akan sejahtera sendiri, sebab mereka bisa berusaha dengan tenang. Ternyata pemerintah lebih suka menghancurkan usaha rekyat dengan cara merusak tempat usaha mereka, menyaingi dengan memasukkan produk asing, sehingga rakyat tidak memiliki peluang usaha dan akhirnya terjerumus ke dalam kemiskinan. Ini yang perlu kita hindari melalui sebuah persaudaraan yang abadi. (Abdul Mun’im DZ)