Risalah Redaksi

Film Menafikan Pesantren

Kamis, 24 September 2009 | 11:36 WIB

Belakangan ini, kalangan pesantren di beberapa daerah memuntapkan kembali kekesalannya terhadap penayangan berbagai film dan sinetron yang berlatar-belakang pesantren yang diangap tidak mewakili nilai ideal kepesantrenan. Sebaliknya malah mengungkap berbagai sisi negatif yang itu belum tentu terjadi di dunia pesantren dan dianggap hanya muncul dari imajinasi sutradara sendiri.

Kalangan penulis naskah, pembuat skenario hingga sutradara umumnya bukan orang pesantren, atau orang yang mengerti pesantren. Mereka hanya  memembaca beberapa buku tentang pesantren baik yang ditulis orang asing maupun kalangan sarjana pribumi yang berhaluan modernis. Mereka selalu menganggap bahwa pesantren tidak relevan dengan kemodernan. Selain itu pesentren juga masih mengadopsi hirarki dalam pendidikan dan relasi sosial. Dengan munculnya isu hak asasi manusia, pesantren dianggap lembaga yang tidak menghormati kebebasan dasar manusia karena mengajarkan agama dengan penuh dogma dan membuat aturan kepesantrenan yang ketat tidak memberi hak pada santri.<>

Ketika memandang pesantren tidak sejalan dengan kemodernan, hak dan kebebasan individu maka pesantren dicap sebagai pelanggar kebebasan manusia termasuk kebebasan wanita. Mereka menginginkan kehidupan bebas tanpa kekangan termasuk tanpa pegangan moral. Sementara pesantren dengan kuat memegang tardisi dan ajaran agama, karena itu kemudian mereka dramatisasi dengan penindasan terhadap santri, dan diskriminasi terhadap santri wanita.

Sikap ketawadlukan, yang menjadi watak utama santri di pesantren, sama sekali tidak pernah tampak ada dalam film pesantren. Yang ada hanya manusia jalang yang hubungan antar santri sebegitu vulgar, penuh pertikaian, selalu mencurigai perilaku ustadz dan kiai. Ini tidak lain karena persepsi dasar mereka tentang pesantren memang telah sedemikian rusak, melenceng dan buruk, sehingga yang ditampilkan hanya serangkaian keburukan. Perjuangan untuk membebaskan pesantren dari ikatan norma dan tata nilai menjadi tujuan film-film pesantren saat ini, atas nama kritisisme demi kebebasan dasar.

Kritisisme yang didasari pada kesalahpahaman dan ketidaksenangan terhadap pesantren itu membuat pandangan tentang pesantren sebegitu negatif, sehingga dimensa positif yang merupakan hakikat pesantren menjadi hilang. Yang ada hanya pesantren imajiner yang ada dalam imajinasi penulis nasakah, pembuat skenario dan sutradara. Nilai luhur yang ditradisikan di pesantren disembunyikan seolah tidak pernah ada. Sifat iri dengki memang ada di dunia pesantren, tetapi disublimasi sedemikian rupa, sehingga tidak vulgar diekpresikannya, karena di sana ada yang disebut adat, yang menakar antara kepantasan dan ketidakpantasan.

Seorang santri belajar di pesantren adalah seseorang yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk Allah yang dijalankan melalui belajar sepanjang hari selama 24 jam. Untuk ibadah, belajar dan membantu masyarakat. Para kiai dan ustadz juga berjaga selama 24 jam membimbing mereka. Ketekunan, pengabdian yang tak kenal batas, kepasrahan total pada cita-cita, ketulusan yang tanpa tara, menjadi nilai yang sangat diabaikan oleh pembuat film.

Memang dunia negatif selalu menyertai dunia positif, tetapi kalau hanya mengeksploitasi kenegativan tanpa mempedulikan dimensi positif, maka ini telah menjadi black compaign (kampanye buruk) buat pesantren, karena penonton yang tidak kritis dan tidak tahu tradisi pesantren yang sebenarnya akan termakan propaganda yang menyesatkan melalui film-film kacangan seperti itu.

Tetapi untunglah film-film tentang pesantren sebagaimana film dan sinetron Indonesia pada umumnya yang bersifat dangkal dan tergolong kacangan yang tidak ada kemendalaman, sehingga diharapkan tidak terlalu dalam mempengaruhi pemirsa, karena selesai menonton selesai, tidak memberikan kesan mendalam, karena film itu tidak ada pendalaman, hanya permainan kata dan aksi-aksi yang superfisial yang pantas dilupakan pemirsanya.

Hadirnya film pesantren yang memberi citra buruk pesantren ini tidak perlu diprotes secara besar-besaran sebab nanati film kercil itu akan membesar bukan karena kualitasnya, tetapi karena muatan politisnya, sehingga akan memberi bobot sendiri setelah dikritik secara serius. Kalau dikritik secara tajam  dan penuh keseriusan film semacam itu secara alami akan masuk kotak sendiri, tidak pernah dikenang atau dilirik orang.

Sebaliknya dunia pesantren mesti mulai memperbaiki citra dirinya, bukan dengan meningggalkan ikatan moral yang ada. Sebaliknya, dunia pesantren justeru terus berupaya memperkuat nilai-nilai moral sehingga integritasnya tetap terjaga.  Kemampuan kaum santri untuk mencitrakan diri mereka sendiri harus ditingkatkan, karena dengan demikian  mereka akan mencitrakan apa yang menjadi idealitas mereka, apa yang menjadi harapan mereka. Bukan apa yang dilihat dan dipersepsi orang lain. Kemampuan mencitrakan dirinya ini penting untuk menghindari pandangan distorsif terhadap dunia pesantren. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait