Para guru menentukan baik buruknya sebuah masyarakat pada 20-30 ke depan saat para siswanya sudah menduduki jabatan strategis sebagai pengambil keputusan. Jika siswa diajar dengan baik, maka peradaban juga berkembang dengan baik, hal sebaliknya juga berlaku. Negara-negara yang memperhatikan sektor pendidikannya, seperti Finlandia, Swedia, dan Denmark terbukti menjadi negara yang maju dengan karya-karya yang inovatif.
Kesadaran publik tentang pentingnya meningkatkan kualitas guru sudah meningkat. Jika dulu profesi guru disebut dengan pahlawan tanpa tanda jasa, artinya diminta bekerja keras untuk memintarkan murid, tetapi imbalan yang diterima sangat kecil, kini semuanya sudah berubah. Banyak orang tertarik menjadi guru karena penghasilannya memadai setelah pemerintah menggulirkan dana tunjangan sertifikasi yang berlaku baik bagi guru PNS atau non-PNS yang sudah memenuhi standar tertentu. Harapannya, jika penghasilan memadai, maka mereka bisa fokus mengajar para siswa yang ujung-ujungnya, siswa menjadi pintar. Untuk itu, juga ada aturan bahwa guru harus mengajar sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuninya. Tidak bisa seorang lulusan fakultas agama mengajar matematika sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu. Semuanya dengan harapan agar kualitas pengajaran menjadi lebih baik.
Meskipun pemerintah sudah mengalokasikan dana yang besar, misalnya pada 2016 ini saja, terdapat 46.4 triliun untuk tunjangan profesi guru, kualitas pendidikan belum juga beranjak naik. Berbagai indikator pendidikan internasional menunjukkan posisi Indonesia masih rendah. Human Development Index (HDI) Indonesia dalam lima tahun terakhir masih di kisaran 110, setara dengan nilai 0.684 dan dalam urutan negara ke-110, di bawah Botswana (106), Moldova (107), Mesir (108), Turkmenistan (109), dan menempati posisi yang sama dengan Gabon (110).
Jumlah guru yang mencapai angka sekitar 3 juta sebenarnya sudah cukup dilihat dari rasio siswa dan guru yang menanganinya. Sayangnya, penyebarannya yang kurang merata, terutama di luar Jawa yang infrastrukturnya belum memadai. Guru masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan dengan fasilitas penunjang lengkap.
Ada persoalan lain terkait dengan jumlah guru yang sudah mendapat dana tunjangan sertifikasi. Banyak di antara mereka yang memanfaatkan dana tunjangannya bukan untuk mengembangkan ilmu atau kapasitasnya sebagai guru sebagaimana diniatkan oleh pemerintah, tetapi memanfaatkannya untuk kepentingan yang sifatnya konsumtif seperti beli mobil, beli tas atau baju mahal, dan hal-hal yang tidak mendorong produktivitas dirinya sebagai guru. Ini tentu problem lain yang lebih mendasar sebagai sebuah bangsa tentang etos kerja atau kebutuhan untuk pencapaian sesuatu yang lebih rendah. Ini berangkat dari budaya yang kurang kompetitif dalam menghadapi dunia masa depan yang lebih keras. Mereka sudah puas dengan apa yang ada, dan mengajar kepada para siswanya apa adanya.
Para guru yang bergabung dengan Persatuan Guru NU (Pergunu) menghadapi problem yang lebih kompleks lagi karena terdiri dari guru-guru swasta yang masih berjuang dalam mengatur dirinya sendiri. Banyak di antara mereka yang belum mendapat dana tunjangan sertifikasi, mengajar di sekolah swasta yang pendanaan dan fasilitasnya juga masih terbatas serta problem-problem pendidikan lain. Kongres Perguru yang berlangsung pada 26-29 Oktober di Mojokerta diharapkan mampu menyelesaikan beberapa persoalan mendasar tersebut. Apa yang dihadapi oleh Pergunu, menjadi cermin dari permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan NU. (Mukafi Niam)