Kehadiran tahun baru Hijriyah 1430 bukan dirayakan, tetapi disambut dengan berbagai acara ritual, mulai pencucian dengan berbagai macam bentuk ibadah dan tradisi, munajat dan do’a. Hal itu tida hanya dilakukan oleh kalangan santri, kalangan abangan pun melakukan hal yang sama. Walaupun tahun ini ditandai dengan hijrahnya Nabi Muhammad, tetapi karena dikaitkan dengan bulan Muharram yang merupakan bulan istimewa bagi seluruh zaman yang ditandai dengan kehadiran para nabi. Maka tahun baru Hijriyah menjadi sepenuhnya religius. Kalaupun ada seremoni itupun hanya di lingkungan Islam kota yang cenderung borjuis dan seremonial.
Lain hanya dengan kedatangan tahun baru Masehi telah menjadi, yang walaupun ditandai dengan kelahiran Nabi Isa Al Masih, tetapi kehadiran tahun baru ini tidak ada ritual, semuanya dipandang sebagai peristiwa profan. Karena itu yang dihadirkan selalu hura-hura yang dilakukan oleh manusia se-dunia. Karena tahun Masehi telah sepenuhnya diromanisasi, sehingga kehilangana dimensi religiusitasnya.
<>Namun demikian sering kali kehadiran tahun baru tetap tidak bisa menghilangkan mitos-mitos yang menyelubunginya, setidaknya mitos tentang harapan. Bayangkan orang merayakan tahun baru semalaman, untuk menyambut pergantian tahun dengan harapan tahun depan bisa lebih baik, lebih beruntung dan lebih sejahtera. Kadang harapan itu dilimpahkan begitu saja tanpa disertai langkah dan kerja yang nyata, akhirnya menjadi harapan yang hampa. Tetapi mereka tidak peduli, karena setidaknya mereka telah merasa puas dengan berbagai seremoni, yang menjadi katarsis bagi penderitaan selama ini.
Tetapi kehadiran tahun baru 2009 sejak awal telah ditandai akan datangnya krisis global, sehingga semua pihak cukup mengendalikan diri dan sedikit introspeksi. Apalagi hadirnya tahun baru Masehi ini beriringan dengan hadirnya tahun baru Hijriyah sehingga suasana religius dari tahun baru itu masih terasa sebab sebelum berbagai ritual Muharram selesai tahun baru masehi segera datang. Tetapi pertemuan antara tahun baru Hijriyah dan Masehi yang hening itu tiba tiba dinodai oleh orang-orang Yahudi Israel, bangsa terkutuk yang melakukan pembantaian terhadap bangsa Palestina.
Sebenarnya negara terkutuk itu adalah tidak lebih dari negara kolonial ciptaan kolonial Barat, untuk mempertahankan koloni mereka di Dunia Timur sejak tergulungnya kolonialisme pada pertengahan tahun 1940-an. Apapun bentuk serangan Israel sebenarnya “diremote” dari Eropa dan Amerika, sehingga mereka dengan mudah bisa mengendalikannya baik atas nama keamanan maupun alasan kemanusiaan. Tetapi semunaya ini demi alasan ekonomi dan kekuasaan politik, maka tindakan Israel dibiarkan bahkan terus dikorbankan oleh negara-negara induknya di Eropa dan Amerika. Peristiwa itu sebuah katarsis bagi Eropa dan Amerika untuk melupakan krisis global, tetapi merupakan derita yang ditanggung oleh bangsa Muslim sedunia.
Orang sempat optimis dunia akan lebih damai dengan terpilihnya Obama. Tidak itu optimisme tanpa dasar, sebab Amerika sebagai negara imperialis sudah dikukuhkan oleh berbagai doktrin, baik doktrin, Monroe, doktrin Roosevelt, doktrin Trumans, Doktrin Eisenhower dan sebagainya. Tidak mungkin Obama bisa menjebol berbagai doktrin imperialis itu. Padahal hanya dengan cara itu negara imperialis itu bisa direorientasi. Walupun presiden Obama punya niat baik, tetapi kabinetnya terdiri dari para pendukung Israel. Maka Israel akan digunakan untuk mendestabilisasi Timur Tengah untuk memudahkan operasi Amerika di kawasan itu.
Melalui tahun baru ini kita mesti mulai realistis, berangkat dari realitas yang ada dengan demikian bisa melangkah lebih teratur dan lebih terukur dan jelas tahapannya. Umat Islam dan bangsa Indonesia harus kembali pada diri sendiri. Kepercayan diri merupakan kekuatan utama sebuah bangsa, sementara bantuan hanya akan melemahkan karakter dan kemandirian. Indonesia merdeka dengan kehendak dan caranya sendiri, sekarang tinggal membangun sendiri dengan prinsip berdikari. Dengan berpegang pada prinsip Islam; al i’timadu alan nafsi asasun najahi (bergantung pada diri sendiri merupakan pangkal keberuntungan). Ketika prinsip ini kita lupakan, lalu kita bergantung pada orang lain bangsa lain, maka kita kehilangan kedaulatan. Kedaulatan bisa dipulihkan hanya dengan kembali memperkuat pendirian. Melepas segala ketergantungan. Di situ kita akan menang.
Terlalu lama kita tergantung pada bangsa lain, hingga lenyap seluruh kemandirian bangsa ini, bahkan umat Islam yang selama ini mandiri juga ikut menjadi sangat tergantung. Hal itu tidak hanya membuat mental kita rusak, tetapi juga membuat kebudayaan nasional dan Islam kita rusak. Karena seluruh bangunan agama dan budaya dibangun dengan kepentingan yang membangunkan. Gerak penyadaran terhadap pentingnya kemadirian harus dimulai. Tanun baru ini merupakan momentum penting. Terutama tahun baru Hijriyah yang masih murni religius yang diwarnai dengan ibadah dan tirakatan, merupakan media penting untuk kembali pada jati diri yang mandiri. Karena dengan ajaran asketisme yang diajarkan oleh tirakatan itu bisa dikembangkan menjadi kemandirian bersama. Ini titik strategis untuk membangun kemandirian Islam dan kemandirian bangsa. (Abdul Mun’im DZ)