Risalah Redaksi

Membangun Kehidupan Yang Fitri

Sabtu, 22 November 2003 | 17:34 WIB

Setelah berpuasa sebulan penuh , lapar, dahaga dan lelah, diharapkan akan mengantar pada seseorang untuk berpikir dan berefleksi diri, bahwa dalam kehidupan itu ada penderitaan bahkan penuh penderitaan, yang mungkin tidak dialami oleh seorang, tapi dialami oleh yang lain.

Dengan berpuasa itulah seseorang bisa merasakan penderitaan yang lain, baik karena sakit maupun karena kelaparan bagi orang yang miskin dan papa. Lapar karena miskin dan kekurangan berbeda dengan lapar ketika puasa, puasa hanya bisa mengandaikan laparnya orang miskin kelaparan, tepi tidak bisa merasakan beban penderitaannya, namun demikian bagi yang memiliki kepekaan rohani pengandaian itu telah menumbuhkan kesadaran yang mendalam tentang hakekat kehidupan.

<>

Penderitaan secara fisik selama berpuasa itu diharapkan menjadi perenungan rohani, tentang hakekat hidup dan jatidiri. Dalam perenungan yang mendalam tentau akan ditemukan kesadaran bahwa, seseorang yang merasakan penderitaan orang lain akan berempati kepadanya, lalu timbul sikap tepa selira, atau solider terhadap yang lain. Kalau solidaritas itu diperluas, maka akan menyentuh komunitas semuanya bahkan seluruh umat manusia. Dari sisi itu puasa sekarang bisa kita maknai.

Kita saksikan belakangan ini manusia hidup jauh dari fitrah manusia, hidup manusia termasuk manusia Muslim lebih banyak ditentukan oleh biro iklan, mereka mengkonsumsi semua yang diproduksi oleh perusahaan dan yang ditawarkan oleh biro iklan. Tidak peduli barang itu berguna atau tidak. Tetapi mesti dibeli untuk memenuhi standar modernitas, dan iklim lingkungan social yang kompetitif.

Suasana itu menjadikan manusia berlomba untuk menumpuk keayaan yang hanya untuk memenuhi ambisi pribadinya. Harta dicari dengan menghalalkan segala cara, mencuri, menilep, merampok bahkan menjarah, baik kekayaan rakyat maupun kekayaan negara. Ini yang terjadi di lingkungan kita. Masyarakat telah begitu besar dimanjakan oleh harta jarahan, dan dijadikan sebagai harta yang dipamerkan. Mereka tidak mengira bahwa penjarahan semacam itu telah mengakibatkan penderitaan rakyat, sehingga banyak orang menjadi miskin.

Perilaku masyarakat ini telah sangat membebani negara, akibatnya negara tidak bisa  menyantuni warganya yang miskin dan terlantar yang menjadi tanggung jawabnya. Sebaliknya kita menyaksikan banyak hartawan yang menyedekahkan sebagian harta jarahannya kepada masyarakat, seolah mereka orang dermawan. Dengan pemberian itu mereka berharap rakyat tidak menuntut hak mereka, tidak menggangu kenyamanan para penjarah. Padahal apa yang diberika pada masyarakat jauh lebih kecil dari harta yang dijarah, dari berbagai khazanah negara.

Puasa sendiri yang semula merupakan ibadah penuh perenungan, sekarang ini menjadi ibadah hura-hura. Tidak hanya ibadah itu dilaksanakan dengan penuh kebisingan, tetapi juga disertai dengan pesta kemewahan, bukan bulan tirakat, sebagaimana diharapkan. Dengan model puasa semacam itu, sulit diperoleh perenungan yang mendalam, sebagaimana yang diharapkan dari pelaksanaan ibadah itu. Dengan demikian ibadah itu tidak memiliki fungsi social.

Tetapi bagi mereka yang bisa mengambil hikmah puasa, tentu akan bisa mencapai fitri atau kefitrian diri, sehingga setelah menunaikan ibadah puasa yang berat, mereka bisa meningkatkan kualitas kerohaniannya, pada saat yang sama bisa meningkatkan kepekaan sosialnya, sehingga solidaritas social mereka semakin tinggi. Dalam arti inilah puasa yang kelihatannya ibadah individual, tetapi memiliki peran social, ketika makna puasa dihayati dan diamalkan.

Seandainya puasa bisa dijalankan seperti itu, maka secara terus-menerus kualitas masyatakat secara otomatis akan terbaiki, karena setiap orang mampu merasakan penderitaan yang lain, dan berusaha tidak menambah penderitaan orang lain dengan merampok mencuri atau menjarah. Tetapi sebaliknya mereka banyak menolong memberikan harapan dan sumbangan pada orang yang lain, sehingga mereka bisa hidup mandiri dan berkecukupan, karena mereka bisa memperoleh haknya, karena tidak ada yang merampok dan menjarah. Itulah derajat kefitrian yang bisa dicapai oleh orang yang puasanya dipenuhi dengan penghayatan, perenungan dan langkah nyata. (MDZ)  


Terkait