Risalah Redaksi

Menjaga Martabat Pesantren

Kamis, 23 Juli 2009 | 08:03 WIB

Kalau pada tahun 1970-an, pesantren dikesankan sebagai institusi yang buruk, sehingga harus dijauhi karena dianggap tradisional, kumuh dan tertutup. Tetapi menjelang tahun 1990-an, citra pesantren telah sedemikian harum, sehingga kalangan yang dulunya sinis pada pesantren turut aktif membangun pesantren. Bahkan kelompok Islam garis keras yang muncul pada tahun 1980-an juga ikut mendirikan pesantren untuk menggembleng kader militan mereka.

Perkembangan ini, di satu sisi menggembirakan tetapi di sisi lain juga sangat mengkhawatirkan. Masyarakat awam, apalagi orang luar, tentu sulit membedakan antara pesantren yang asli dan pesantren tiruan. Antara pesantren yang mendalami agama sebagaimana pesantren salaf dengan pesantren yang mereduksi ajaran agama dengan hanya menanamkan militansi, sehingga banyak bertabrakan dengan masyarakat sekitar dan dengan pesantren yang sesungguhnya.<>

Puncak paling menggembirakan dari pertumbuhan pesantren salaf itu adalah tumbuhnya pemikiran Islam yang sangat subur, sehingga mampu merumuskan hubungan yang proporsional antara agama dengan Negara dan antara agama dengan kebudayaan. Hal itu melahirkan suasana kehidupan yang tenteram dan damai. Tetapi di sisi lain pesantren Islam fundamentalis juga mengadopsi nama salaf sebagai identitas pesantren mereka. Mereka ini melihatkan militansi keislamannya di berbagai forum terbuka, bahkan tidak sedikit yang para anggotanya dinyatakan sebagai pelaku tindakan terror. Akhirnya beberapa pesantren digerebek, beberapa santri, ustad dan pimpinannya diadili dan dieksekusi. Dengan demikian, ada kesan bahwa pesantren sebagai sarang teroris.

Suasana menjadi semakin runyam ketika berbagai negara besar berniat mengubah pelajaran agama dipesantren sesuai dengan kepentingan mereka. Saat ini dana besar telah disebar di berbagai pesantren dalam upaya mengubah kurikulum secara bertahap. Sayangnya banyak  ustadz, santri dan kiai tidak waspada dengan proyek itu, sehingga menerimanya dengan sepenuh hati. Kalau begitu sikapnya, maka dalam waktu dekat bangunan pesantren akan makin megah, tetapi sebagai sebuah institusi keilmuan dan kerohanian serta sebagai lembaga moral, pesantren akan semakin rapuh karena dirongrong oleh materialisme, sebuah virus yang tidak mengenal ampun, yang akan menyerang siapapun yang mental dan agamanya tidak kuat.

Kenyataan yang sungguh mengejutkan adalah merebaknya flu babi yang berasal dari Meksiko ke pesantren di seluruh Indonesia. Virus ini berasal dari luar, sementara daerah yang menjadi pusat perdagangan dunia WTC dan Pusat perdagangan Internasional ITC yang menjadi pusat lalu lalang orang dari luar negeri seperti Pusat perbelanjaan Mangga Dua, Tanah Abang di Jakarta dan kota-kota lainnya, yang orangnya setiap hari berlalu lalang dari Hiongkong, Jepang,  Afrika, Amerika atau Australia, tetapi aman tenteram.

Sementara pesantren adalah daerah yang relatif tertutup dan tidak ada santrinya yang lalu lalang keluar negeri, pola hidup mereka lebih teratur. Tetapi pesantren menjadi sasaran utama penyebaran flu tersebut. Padahal pesantren sekarang ini juga jauh lebih bersih ketimbang pusat perdagangan internasional tersebut.

Pertanyaannya, atas tujuan apa flu babi menyerang pesantren, mengapa prasyarat-prasyarat perkembangan virus itu tidak terpenuhi di pesantren tetapi malah berkembang pesat. Dokter paling pakar sekalipun akan sulit mrnjelaskan fenomena aneh ini. Tetapi seorang yang arif akan mampu menjelaskan secara gamblang fenomena ini, yang seolah aneh ini. Belum lagi heboh babi masuk pesantren selesai, pesantren kena imbas peledakan di dua hotel Amerika di Jakarta, soalnya pelakunya diduga berasal dari pesantren, sehingga beberapa pesantren kembali menjadi sasaran penggerebekan. Dua musibah sekaligus menimpa pesantren, yaitu flu babi dan terror, keduanya dari luar. Sebagai organisasi yang mengelola pesantren, NU tentu bertanggung jawab terhadap masalah kemaslahatan pesantren seperti ini.

Ketidakmandirian pesantren membuat pesantren sangat tergantung pada pihak luar, sehingga juga mudah didekte dan diatur oleh pihak luar. Karena itu, Kiai Hasyim Asy’ari sesusah apapun tidak mau menerima bantuan dari penjajah Belanda, bahkan diberi gelar penghargaan juga ditolaknya. Pesantren dikembangkan sejauh kemampuan dana sendiri. Tidak memimpikan apa yang lebih dari kemampuannya. Toh Pesantren Tebuireng dan yang lainnya mampu melahirkan berbagai ulama besar dan tokoh-tokoh nasional yang disegani.

Tradisi pesantren mulai kitab klasiknya, pola hidup kiai dan santri serta berbagai tradisi yang ada termasuk sistem pendidikannya, walaupn di sana sini bisa dikembangkan tetapi spiritnya harus dipertahankan. Karena itulah identitas pesantren yang sesunggunya. Dengan demikian, orang luar akan mudah membedakan antara “pesantren yang sesunggguhnya” yang mengajarkan agama secara luas dan mendalam , dengan “pesantren jadi-jadian” yang mengajarkan agama tanpa perluasan dan kemendalaman, dengan mengajarkan agama secara instan. Sebaliknya, "pesantren jadi-jadian" tersebut malah merusak hakekat agama, yang hanya digunakan untuk menyebarkan permusuhan dan kebencian, bukan agama yang mengajak pada  kerukunan, kebenaran dan keadilan. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait