Risalah Redaksi

Mewaspadai Mahkamah Ketidakadilan

Kamis, 27 September 2007 | 15:25 WIB

Ketika masyarakat terbuai oleh isu globalisasi membuat semua masalah jadi kabur dan memang globalisasi adalah sebagai upaya pengaburan masalah, mulai dari penghisapan, penindasan, diskriminasi dan manipulasi dikemas menjadi sebuah wadah bernama kemajuan-kosmopolit. Dengan kenyataan ini mkaka setiap persoalan dalam sebuah negara selalu dibawa ke arena internasional, sebagai upaya mencari solusi. Tidak hanya bidang pidana, tetapi juga perdata dan juga subversi. Karena dianggap semuanya akan terselesaikan sebab di <>sana banyak cerdik pandai yang berakhlak tinggi.

Dalam sebuah hikayah disebutkan dua ekor kucing yang sedang bertikai memperebutkan sepotong daging, lalu mereka sepakat mencari penyelesaian secara adil dengan mencari seekor hakim. Di jalan mereka bertemu monyet yang sedang gelantungan di pohon, mereka berdua mengagumi kelihaian si monyet dalam memanjat dan meloncat, serta menangkat berbagai benda yang melayang. Mereka segera berkesimpulan bahwa monyet makhluk lebih tinggi karena memiliki berbagai kemampuan yang tidak dimiliki kucing. Keduanya sepakat mendatangi monyet sebagai hakim yang bisa membagi daging secara adil.

Mereka tidak tahu bahwa monyet adalah binatang yang culas, selalu curiga tidak memiliki kesetiaan. Tentu saja dengan senang hati monyet menerima permintaan ke dua kucing tersebut, apa lagi dia akan mendapat jatah dalam pengadilan tersebut. Segeralah monyet memulai pengadilan dengan membuat timbangan. Dalam menimbang monyet berlaku curang, satu daging sengaja dipotong lebih besar, sementara satunya lagi menjadi potongan kecil. Ketika ditimbang yang potongannya lebih besar bobotnya lebih berat, maka dia segera mengurangi daging yang berat itu dengan memotong lebih besar, lalu disimpannya sendiri, tidak ditaruh di bahu timbangan sebelahnya. Akhirnya daging yang lebih berbobot menjadi lebih ringan. Lalu daging keratan yang kecil menjadi berat, lalu dikurangi biar imbang, tapi dalam mengurangi terlalu banyak, sehingga tidak pernah mencapai keseimbangan, dan setiap kelebihan adalah bagian monyet. Sampai akhir penimbangan tidak pernah bobot daging seimbang, semua kelebihan menjadi bagian monyet, akhirnya kedua kucing tidak mendapat bagian, seluruh daging menjadi milik monyet, yang melakukan penghakiman berdasarkan kecurangan dan kerakusan.

Demikian halnya saat ini dengan dalih globalisasi kalau ada persoalan nasional, apakah konflik sosial, politik, soal pengadilan korupsi dan pidana cenderung diinternasionalisasi, yakni dibawa ke mahkamah internasional bahkan PBB. Mereka mengira mereka lebih adil, lebih jujur. Pandangan ini terlalu naif persis seperti kucing melihat kelihaian si monyet. Mereka lupa bahwa segala bentuk lembaga internasional itu merupakan tunggangan kapitalisme dan kolonialisme. Maka tidak aneh kalau banyak orang yang mengecam tindakan kelompok pro demokrasi yang mengajukan pemerintah Indonesia ke mahkamah internasional, sebab yang akan diperoleh bukan keadilan, tetapi penjungkirbalikan sistem politik Indonesia.

Demikian juga ketika Presiden hendak melaporkan korupsi Soeharto ke PBB banyak mengkritik tindakan itu. Sebab bukankah selama ini lembaganya PBB seperti Bank Dunia yang memfasilitasi korupsi tersebut. Dengan berbagai dalih mereka akan merebut hasil korupsi itu. Karena itu soal korupsi Soeharto harus ditangani bangsa ini sendiri. Kalau tidak negara ini akan dipecahbelah seperti zaman penjajahan Belanda, karena setiap pertikanan nata dua kerajaan selalu minta pengadilan Belanda, akhirnya negara yang sedang bertikai dikuasai semua.

Belajar dari dongeng yang penuh hikmah, maupun belajar dari sejarah politik bangsa ini sendiri bahwa urusan negara tidak bisa diserahkan pada bangsa lain, apalagi bangsa tersebut memiliki nafsu menjajah. Semua itu harus dijauhi, suatu bangsa yang terhormat dan maju bila mereka memiliki kepercayaan diri. Bisa menyelesaikan persoalan sendiri. Kalau tidak memiliki kepercayaan diri dan harga diri yan seperti mereka itu, baik para raja zaman penjajahan Belanda maupun para aktivis HAM dan pejuang transparansi belakangan ini, bersikap naïf dan akan menghancurkan bangsa sendiri. Karena mereka tidak memiliki harga diri dan rasa percaya diri.

Mereka hanya kelompok pembebek yang tidak memiliki integritas. Berjuang mengatasnamakan kemanusiaan, tetapi sebenarnya hanya bisnis untuk mendapatkan keuntungan materi, yang mengorbankan bangsa dan negara sendiri. Mereka bermental marsose, atas nama kemanusiaan memusuhi negara bangsa dan rakyat sendiri. Mental seperti ini berkembang luas, karena dikemas dalam tema dan format yang sangat indah dan rapi, sehingga mengecoh orang yang tidak kritis. Bagi mereka yang mau sedikit kritis tentu tidak akan terjebak dalam manipulasi seperti ini. Akhirnya akan mampu menemukan keadilan yang sebenarnya, dan tetap menjadi pribadi dan bangsa yang memiliki harga diri dan percaya diri yang kuat. (Mun’im DZ)


Terkait