Risalah Redaksi

Mewaspadai Operasi Naga Hijau II

Jumat, 5 Desember 2003 | 12:08 WIB

Soliditas komunitas NU Pasca kembali ke khitah 1926 menunjukkan kekuatan yang luar biasa, sebagai kekuatan social yang independen, dan mandiri dari hegemoni negara Orde Baru yang sangat hegemonic saat itu. Kekuatan social NU itu tidak ayal memiliki muatan politik karena kemandirian NU itu bisa mengimbangi kekuatan negara. Selain itu terdapaat kekuatan politik lain yang berupa partai Politik yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI), walaupun berusaha dihancurkan tetapi malah menimbulkan soliditas tersendiri. Akhirnya dua kekuatan soaial dan politik itu ketemu sehingga membentuk kekuatan politik yang sangat ampuh dalam menghadapi dominasi negara.

Tampaknya aliansi ideologis dua kelompok populis yang sama-sama berorientasi kebangsaan itu sangat menggelisahkan kekuatan orde baru, yang merasa mulai tertantang. Pendongkelan kedua pemimpin oganisasi itu diakhiri dengan kegagalan, maka seolah diciptakan konflik di tingkat grass root, yang memunculkan berbagai kerusuhan social. Karena cara itu kurang berhasil, maka dialakukan opersi naga hijau, berupa pembantaian para kiai oleh para ninja dengan kedok membunuh dukun santet. Anehnya pembunuhan terhadap ratusan korban tokoh dan warga NU itu tidak berhasil menangkap tersangka, semuanaya berjalan misterius sampai saat ini,semua hanya bisa menduga dengan yakinnya para pelaku dan dalang dibaliknya.

<>

Walaupun selama ini sudah dikumandangkan ukhuwah baik yang Islamiah, maupun yang Wathaniyah, tetapi tidak sekelompokpun yang datang melindungi, membantu  atau hanya sekadar simpati pada NU. Aparat keamanan juga tidak bisa diharapkan mengamankan masyarakat NU dan para tokohnya. Untung NU memiliki Banser, Pagar Nusa dan sebaginya sehingga mampu melindungi warga NU dan warga negara Indonesia yang tertindas, saat aparat keamanan sendiri tidak mampu melindungi warna negara. Akhirnya NU mampu menolong dirinya sendiri menghadapi opersi naga hijau yang menelan banyak korban itu tanpa pertolongan berarti dari pihak lain.

Dengan latar belakanag historis semacam itu, maka tidak aneh kalangan NU langsung mengasosiasikan pembantaian ulama dan warga NU belakangan ini di Jember dan Lumajang sebagai upaya mengobok-obok NU dengan Operasi Naga Hijau II. Pengkaitan itu tidak salah sebab bagi orang yang memiliki memori politik akan segera memiliki imanjinasi politik yang mengasosiasikan peristiwa sekarang dengan sejarah masa lalu yang diulang. Ternyata Dugaan  yang berdasarkan pada kejanggalan peristiwa empirik, maupun pengalaman histories itu semakin mendekati kebenaran, ketika yang menerima terror tidak hanya dua warga NU itu, tetapi beberapa elite NU di Probolinggo belakangan juga menerima ancaman yang sama. Kasus ini mementahkan pandangan yang selama ini menganggap bahwa peristiwa pembunuhan itu bersifat kriminal, tetapi memiliki motif politik.

Tetapi sangat naïf juga bila motif politik itu dilokalisir menjadi konflik internal NU atau PKB. Padahal yang dimaksud motif politik adalah masuknya kekuatan eksternal untuk memprovokasi jamaah NU. Sebab sebagaimana yang dikatakan Sekjen PBNU bahwa peristiwa itu merupakan provokasi untuk memecah belah kekuatan NU. Hal itu bisa dimengerti semua kekuatan politik yang hendak maju ke Pemilu tahun depan, juga hampir semua calon presiden dari berbagai partai, dalam kenyataannya semuanya berusaha menggandeng NU. Saat ini diakui atau tidak ormas semacam NU menjadi kekuatan politik riil, sehingga partai atau para politisi akan melirik ormas ini. Sebab partai atau calon Presiden yang didukung warga Nu pasti akan meraih kemenangan.

Namun demikian tidak sedikit kalangan yang iri dan ngeri terhadaap kekuatan NU itu sehingga perlu dipecah belah agar tidak menjadi kekuatan politik riil di masa mendatang. Skenario-skenario penghancuran NU itu mesti dikuak dan dibeberkan, agar warga NU tidak gampang terprovokasi, dalam bentuk konflik internal, konflik antar etnis atau konflik antar kelas atau golongan. Sebaliknya penyadaran tentang adanya berbagai sekenario itu akan mementahkan skenario,yang dirancang, sebab rakyat sudah dewasa, tahu terhadap persoalan social politik yang berkembang, tidak emosional dan main hakim sendiri.

Dengan kondisi semacam itu NU mesti kembali ke akar tradisinya sendiri, yakni terus menanamkan sikap toleransi, moderasi, sehingga warga NU tidak pernah memiliki konflik social, sebaliknya menjadi perekat social, sebab mampu mengayomi semua pihak yang mengalami ketegangan dan konflik baik yang bersifat agama, etnis atau ideology. Karena itu bentuk provokasi apapun perlu diwaspadai sebab kalau hal itu terjadi seperti pengalaman yang lalu, hanya warga NU sendiri yang bisa menghadapinya, kelompok lain telah tiarap. Itulah sebabnya kalangan NU sangat cepat bereaksi terhadap provokasi yang bakal  sangat merepotkan NU semacam itu.(Munim DZ)


 


Terkait