Risalah Redaksi

Negara Tanpa Politik Pendidikan

Kamis, 25 Desember 2008 | 04:08 WIB

Ketika sistem pendidikan nasional dirumuskan, orang seru berdebat soal pendidikan agama di sekolah. Kalangan sekuler menolak pendidikan agama di sekolah karena dianggap sebuah pemaksaan pada siswa. Ketika orang berdebat soal agama, pasal mengenai kapitalisme pendidikan dibiarkan melaju, karena itu sekarang dengan mudah undang-undang badan hukum pendidikan (BHP) disahkan. Masyarakat pendidikan dan masyarakat umum tidak berdaya menghadapi kehendak wakil rakyat yang dipilihnya untuk menyelamatkan nasib rakyat yang memilihnya.

Jauh sebelum undang undang mengenai badan hukum pendidikan dirancang sebenarnya pendidikan nasional telah dikomersialisasi, sehingga pendidikan menjadi sangat mahal. Sayangnya ini sekaligus dibarengi dengan penurunan mutu. Bayangkan komersialisasi pendidikan yang dilengkapi dengan fasilitas serba modern itu malah menghilangkan daya saing, karena orang masuk ke sekolah unggulan bukan karena prestasi, melainkan karena mampu membayar. Biarpun di bawah standar asal mampu membayar maka bisa diterima.<>

Hampir seluruh lembaga pendidikan nasional menerapkan asas itu, akhirnya pendidikan menjadi tidak terjangkau, kader bangsa terbaik, paling cerdas yang pada umumnya dari kalangan tidak mampu harus mendapatkan fasilitas belajar seadanya. Tidak heran kalau ranking prestasi pendidikan kita terus merosot, bahkan sekarang ini jatuh di bawah Kamboja, negara yang baru membangun tahun 1995 lalu, rata-rata partisipasi pendidikan mencapai 20 persen, sementara kita hanya 17 persen. Padahal Indonesia membangun pendidikannya secara intensif sejak 1968.

Dalam kondisi yang sudah sangat parah ini di mana seharusnya pemerintah langsung menangani pendidikan karena kualitas bangsa ini dalam keadaan bahaya, sebaliknya yang dilakukan malah melepaskan tanggung jawab itu dengan jargon bagus atas nama otonomi kampus. Termasuk universitas terkemuka milik negara juga diotonomisasi dan diswastanisasi secara terselubung. Memang dalam beberapa pasal dalam BHP itu terdapat pasal jebakan yang seolah baik, sehingga mudah mengecoh orang termasuk DPR yang memutuskannya. Padahal pasal yang lain merupakan celah bahkan jebakan untuk mengkomersilkan pendidikan secara massal.

Komersialisasi itu membahayakan bagi bangsa ini ketika masyarakat tidak lagi bisa meraih pendidikan paling dasar sekalipun, sehingga akan terjadi penurunan kualitas warga negara. Kedua, kalangan manapun akan sulit memenuhi biaya pendidikan, karena itu mereka harus menutupnya dengan melakukan korupsi, baik korupsi uang, korupsi kesempatan dan korupsi waktu untuk memperoleh tambahan penghasilan. Ketiga, ketika pendidikan telah dijadikan lembaga bisnis, maka hanya yang mampu membayar yang bisa diterima, akibatnya akan tersingkirnya kader-kader terbaik bangsa ini, sehingga yang muncul adalah kader yang paling buruk.

Bahaya lain yang dibawa oleh BHP ini adalah hilangnya kedaulatan pemerintah dalam menentukan arah politik pendidikan nasional. Kalau selama ini Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mengatur peredaran uang nasional telah kehilangan wewenang karena lebih separuh dari bank yang ada di negeri ini adalah milik asing, sehingga kekuasaan di bidang moneter yang merupakan simbol kekuasaan pemerintah itu saat ini telah sirna, maka di sini pemerintah telah kehilangan kedaulatannya dalam bidang kebijakan finansial nasional.

Maka ke depan dengan  diterapkannya BHP  yang memungkinkan lembaga pendidikan asing beroperasi secara bebas di negeri ini yang merupakan bagian dari perdagangan bebas WTO, maka dengan fasilitas dan kualitas yang lebih unggul rakyat terutama yang mampu akan masuk pada pendidikan asing. Lebih celaka lagi kalau pendidikan asing menyelenggarakan pendidikan murah bahkan gratis, seperti Carefour, atau Alfamart yang mampu menjual barang dengan murah sehingga menumbangkan pedagang kelontong dan pasar tradisional. Maka tidak menutup kemungkinan masuknya lembaga pendidikan asing dengan subsidi dari kapital internasional menyedot warga negara Indonesia untuk bersekolah di sekolahnya sehingga mereka didik tidak karakter agama dan karakter bangsa ini sendiri, sebaliknya akan dididik dengan nilai-nilai dan karakter mereka.

Kalau hal itu dilakukan maka sebenarnya bangsa ini telah lenyap, sementara pemerintah telah mengabaikan amanat negara untuk mencerdaskan bangsa dengan alasan tidak punya dana, karena dana pendidikan digunakan untuk memenuhi fasilitas pribadi.

Tidak ada memang negara seliberal dan seliar Indonesia, yang tidak lagi peduli pada kedaulatan; tidak peduli dengan harga diri; hanya peduli dengan materi, itu pun untuk kepentingan pribadi. Akibatnya mutu dan bobot bangsa ini akan semakin merosot. Dengan demikian penghargaan bangsa lain terhadap bangsa ini juga akan semakin rendah. Saat ini bangsa yang sangat besar ini di sebuah negara yang sangat besar, tetapi para pemimpinnya bermental budak, karena itu diremehkan bangsa lain.

Bangsa ini baik kalangan politisinya, kalangan intelektual dan akademisinya, kalangan aktivis sosialnya dan apalagi kalangan pengusahanya telah kehilangan komitmen kebangsaannya, sehingga selalu tunduk pada bangsa lain, akibatnya mereka akan selalu diremehkan.

Apalagi ketika pemerintah dan organisasi nasional lainnya tidak lagi bisa mengendalikan politik pendidikan nasional dan menyerahkan bangsa kita dididik orang lain untuk dijadikan budak maka tamatlah sudah bangsa yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa ini. Bangsa akan musnah ketika kehilangan karakter, kehilangan kepribadian karena terputus dengan sejarah dan kebudayaannya sendiri. Komersialisasi pendidikan akan mengarahkan bangsa Indonesia ke sana, karena itu ditolak.

Bangsa manapun selalu menempatkan pendidikan sebagai sarana terpenting untuk pembentukan kader dan pewarisan nilai dan penanaman moralitas. Karena itu harus dijaga kemandiriannya, dijaga keamanannya dari intervensi bangsa lain, agar bangsa ini mampu mendidik bangsanya sesuai dengan karakter, tradisi dan watak dari bangsa ini sendiri. Kemandirian pendidikan berarti kemandirian berpikir, kemandirian berpikir mencerminkan kemandirian dalam bertindak. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait