Tetapi ironisnya negara pengembang tenaga nuklir baik untuk keperluan damai maupun untuk memperkuat angkatan bersenjatanya itu, dengan gigih menolak dikembangkannya tenaga nuklir yang dilakukan oleh negara lain. Kemudian dibuatlah lembaga yang mengawasi penggunaan tenaga nuklir. Sementara anggotanya adalah negara yang memiliki tenaga nuklir. Hasilnya hanya mereka sendiri yang diperbolehkan mengembangkan senjata nuklir sementara negara lain dilarang untuk mengembangkannya dengan alasan enegrgi tersebut sangat berbahaya bagi keselamatan manusai dan lingkungan.<>
Lebih tidak fair lagi negara-negara besar yang maju itu mendorong kalangan intelektual, politisi dan budayawan di negara ketiga untuk memprotes pemerintahnya yang hendak mengembangkan enegri nuklir. Seolah ini bagian dari gerakan kemanusiaan, demokrasi dan peradaban. Padahal negara yang mengaku beradab terutama di barat itu hampir keseluruhannya mengembangkan teknologi nuklir. Tetapi celakanya semua intelektual, politisi, budayawan bahkan agamawan mengikuti anjuran negara-negara kapitalis yang memonopoli energi itu.
Dengan energi nuklir mereka mengkalim sebagai negara maju dan beradap, sementara negara lain yang mengembanagkan nuklir dianggap negara primitif yang tidak beradap. Contohnya adalah Korea Utara, Iran dan Iraq yang terus menerus diganggu karena mengembangkan energi ini. Iraq yang karena diduga meiliki reaktor nuklir lalu diserang sehingga runtuh seluruh warisan peradaban manusia yang ada di negeri itu. Demikian juga Iran yang dengan kreativitasnya telah mengembangkan energi nuklir, mulai ramai diserang oleh negara barat, agar menghentikan kegiatannya itu, sampai-sampai PBB mengeluarkan resolusi khusus untuk reaktor nuklir Iran. Tetapi PBB diam seribu bahasa terhadap pengembanagan senjata nuklir yang dilakukan negara-negara Barat, termasuk Rusia dan Cina.
Bahkan Israel dengan mendapat dukungan kuat dari negara-negara barat yang mengaku punya demokraasi dan mengaku penegak HAM, mulai hendak menyerang Iran, bahkan mereka sudah menerapkan berbagai sangsi pada negeri Ayatullah itu. Padahal negeri Yahudi itu juga mengembangkan senjata nuklir. Sementara kita masih selalu disuruh menghormati negara barat sekalipun mereka telah mengembangkan nuklirnya hingga ke tingkat pembuatan senjata, bahkan tidak sedikit yang telah diledakkan, yang menelan korban manausia, tetapi negara pengawas nuklir diam, seolah tak terjadi apa-apa.
Iroini ini harus dikritik, ketidakadilan harus dilawan. Indonesia sendiri sejak tahun 1960-an telah mengembangkan beberapa reaktor nuklir, karena waktu itu belum seperti sekarang ini, maka program besar yang digunakan untuk pengembangan program pertanian itu berjalan lancer. Tetapi ketika saat ini Indonesia telah menjadi negara boneka, mjualai canggung untuk mengembangkan energi ini, padahal negara sangat memerlukannya. Lebih sulit lagi karena saat ini diindonesia banyak sekali aktivis, ham dan demokrasi termasuk aktivis lingkungan yang menghalangi proyek peradaban yang besar itu.
Para aktivis itu mestinya paham geopolitik internasional, sehingga tidak mudah diprovokasi oleh para kolonial yang hendak memonopoli penggunaan energi nuklir. Mereka hanya mengingatkan madlorot penggunaan energi nuklir, tetapi mereka tidak tahu madlorot negara yang tidak punya tenaga nuklir, gampang digertak, akan dihina dan diinjak-injak seperti Indonesia sekarang ini.
NU sebagai organaisiasi keagamaan yang berbasis kebangsaan yang selalu mengusahakan agar bangsa ini menjadi bangsa yang besar, sejahtera dan disegani, dengan tegas Nu mendukung pengembangan energi nuklir di tanah air. Karena itu NU dengan gigih juga mendukung hak Iran untuk mengembangkan energi nuklirnya. Ini bukan soal irihati tetapi soal keadilan, kalau negara lain boleh mengembangkan enegri nuklir maka negara Iran dan negara Islam manapun juga harus diperbolehkan mengembangkan tenaga nuklir, kecuali kalau semua dilarang maka semua harus dilucuti ini baru adil.
Kalau pengembangan nuklir dianggap kejahatan, kenapa berbagai universiitas masih membukan jurusan teknik nuklir, mestinya jurusan itu dianggap jurusan kriminal. Tetapi masih dikembangkan dan masih terus menerima mahasiswa. Ini sebuah ironi bahkan paradoks yang terus dikembangkan. Kalangan aktivis mestinya menghentikan upaya pengembangan nuklir itu dari hulunya, yaitu dari universitas. Membubarkan dulu jurusan itu sehingga tidak ada lagi ahli nuklir. Tetapi jurusan itu tetap dipertahankan, tetapi pekerjaannya yang dilarang. Meraka hanya boleh jadi buruh nuklir di reactor orang lain. Ini karena kebijakan itu bukan bersfat moral, tetapi bersifat bisnis yang monopolis.
Sikap NU ini sebuah oportunisme, karena sikap ini barang kali tidak membawa untung, sebaliknya malah membawa risiko, tetapi ini sebagai bagian dari perjuangan menuju keadilan tatadunia, maka NU harus turut menegakkan apapun risikonya. Memang penegakan keadilan dan pengejawantahan kesejahteraan bagi seluruh bangsa dan seluruh umat manusai memerlukan keberanian dan pengorbanan. Ini sebuah idealisme yang terus akan dipertahankan NU walaupun banyak kritik bahkan serangan terhadap langkah ini, tetapi ini tugas yang harus dijalankan. (Abdul Mun’im DZ)