Risalah Redaksi

Pahlawan Ada Ketika Ada Pengabdian

Senin, 12 November 2007 | 00:51 WIB

Saat memperingati hari Pahlawan tahun ini, orang banyak membicarakan pahlawan masa lalu baik yang diakui atau tidak dan belum diakui. Banyak orang yang dulu membela negeri ini baik dengan berperang melawan penjajah, membela rakyat tertindas, menolong fakir miskin dan mendidik masyarakat terbelakang. Karena mereka berbuat untuk melaksanakan kewajiban, maka mereka tidak menuntut bayaran, bahkan mengeluarkan biaya.

Generasi masa lalu banyak melakukan kegiatan pengebdian seperti itu. Karena itu mereka tidak peduli diberi gelar kepahlawanan atau tidak. Seperti para kiai dan santri yang menjadi aktor penting dalam peristiwa 10 November di Surabaya, yang semangatnya berkobar setelah mendapatkan Fatwa Jihad atau Resolusi Jihad dari Kiai Hasyim Asy’ari. Mereka dilupakan sejarah dan mereka juga tidak menuntut diberi gelar pahlawan. Termasuk Bung Tomo pelaku penting peristiwa kepahlawanan itu, tetapi tidak mendapat gelar pahlawan, karena yang dilakukan murni perjuangan.

<>

Tetapi banyak juga orang yang dulunya pernah berjasa, tetapi kemudian berkhianat, memberontak. Tentu saja tokoh semacam itu sulit mendapatkan gelar kepahlawanan, apalagi pemberontakan yang dilakukan menumpahkan darah rakyat tak berdosa.

Orang pun akhirnya juga mempertanyakan siapa pahlawan bangsa Indonesia saat ini? Orang lalu mencari kreteria tentang kepahlawanan. Memang sulit mencari pahlawan seperti yang banyak orang perbincangkan. Kepahlawanan muncul ketika ada pengabdian dan perjuangan. Sementara saat ini walaupun banyak orang melakukan aktivitas, apakah itu membela rakyat, mendidik rakyat dan lain sebagainya. Mereka jarang disebut sebagai pahlawan, karena yang dikerjakan tidak memiliki semangat pengabdian dan misi perjuangan. Hanya semata mencari bayaran, terbukti ketika bayaran terhenti kegiatan juga berhenti.

Tidak sedikit kalangan masyarakat yang melakukan sesuatu pekerjaan dengan penuh ketekunan walaupun tidak mendapatkan imbalan secara memadai. Mereka mengajar, membantu kaum miskin, menolong orang lemah. Tetapi karena pekerjaan itu dianggap sepele maka tidak dilihat, apalagi dihargai. Bahkan di beberapa daerah ada orang yang melakukan pekerjaan ekonomi beternak, bercocok tanam atau berdagang, yang melayani kebutuhan umum. Pekerjaan itu terus mereka lakukan, sehingga kebutuhan masyarakat tercukupi. Banyak masyarakat bawah yang melakukan pekerjaan semacam itu, tetapi terus dilakuakan karena pengabdian mereka pada pekerjaan yang menghidupi banyak orang. Mereka ini pahlawan sebenarnya tetapi tidak pernah dihargai.

Kita baru bisa menghargai perjuangan masyarakat kecil semacam itu ketika kita bandingkan dengan pekerjaan atau profesi kelompok elite. Mereka bekerja sebagai anggota sebuah komisi, tetapi dengan komisi itu mereka menuntut gaji yang sangat tinggi. Dan ketika negeri ini saat reformasi yang digerakkan kapitalisme global tahun 1998, maka langkah penting yang dilakuakan adalah mengefisiensi lembaga negara. Maka Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dibubarkan, karena dianggap peninggalan Orde Lama dan Orde Baru. Tetapi mati satu DPA tumbuh seribu komisi, mulai hari komisi hak asasi smasnuai sampai komisi anak dan sebagainya. Yang semuanya tidak pernah efektif, dan hanya menjadi penyedia lapangan kerja dengan gaji yang sangat tinggi. Maka yang dilakukan bukan efisiensi tetapi kedodoran dari segi menajemen dan pemboroasan dari segi dana. Nagara dibuat lumpuh oleh rongrongan berbagai komisi baik secara politis maupun ekonomis.

Semua komisi ini tidak dibentuk berdasarkan kepentingan nasional, tetapi semata mengabdi pada kepentingan kapitalisme global yang liberal. Negara terganjal oleh tumbuhnya berbagai komisi yang tidak terkontrol. Dengan dalih untuk mengontrol dan saling membantu, tetapi yang terjadi saling mengganjal dan bahkan saling menjegal. Dengan demikian semua saling mencurigai, saling mengintai. Tetapi mereka masih mengaku sebagai pejuang kemanusiaan.

Kalau para generasi masa kebangkitan dan pahlawan terdahulu berjuang bagaimana menyatukan dan memerdekakan bangsa ini, maka yang dilakukan para elite sekarang adalah bagaimana mengeruk kekayaan negara sambil menjual negara untuk kepentingan imperialisme. Mereka tidak merasa bahwa apa yang dikerjakan merongrong keutuhan nasional baik secara politik maupun ekonomi. Apalagi disertai kepercayaan bahwa nasionalisme atau kebangsaan tidak penting. Nasionalisme dianggap tak ada lagi, sehingga pengabdian dan perjuangan dianggap tidak perlu lagi, yang tersisa tinggal profesionalisme, manusia bayaran, tentaranya bayaran, pegawainya bayaran, aktivisnya bayaran termasuk para muballighnya.

Melihat kenyataan ini, maka kepercayaan pada tanah air atau kebangsaan mesti ditumbuhkan di tengah kancah internasional. Sebab internasionalisme itu ada bila ada nasionalisme. Dengan adanya nasionalisme itu pula perjuangan terhadap nasib rakyat menjadi konkret, bukan sekadar wacana tanpa komitmen, tetapi dilandasi rasa pengabdian pada rakyat dan bangsa. Dari situ pahlawan dan pejuang itu menjadi ada dengan sendirinya, seoring dengan adanya spirit pengabdian dan misi perjuangan yang menjiwai semua langkahnya. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait