Kasus Indonesia yang sudah mengalami penyimpangan sangat parah baik dari aspek ekonomi, social, politik bahkan secara kebudayaan, tetapi yang dilakukan pada tahun 1998 adalah reformasi, sehingga berbagai kebobrokan yang terjadi pada mas sebelumnya dipelihara dan akan diselesaikan secara bertahap. Maka yang terjadi kebejatan tersebut lebih cepat menjalar ketimbang ide-ide besar yang hendak diterapkan. Maka akhirnya berbagai penyimpangan orde baru tumbuh lebih subur dalam masa reformasi, bahkan salah satunya adalah budaya konsumerisme yang marak sehingga korupsi dilakukan juga semakin transparan. Semuanya terjadi mendapat perlindungan hukum dan perlindungan politik.<>
Melihat kenyataan itu maka tidak aneh kalau seorang Rais (ketua) Syuriyah Wilayah NU Jawa Tengah KH Masruri Mughni menegaskan pentingnya revolusi kebudayaan dalam mengatasi berbagai problem yang dihadapi bangsa ini. Sikap itu menarik dicermati, justru diucapkan ketika istilah revolusi sangat ditakuti dan dihindari, sebaliknya Kiai ini dengan berani memulai. Memang soal utama yang ditunjuk adalah masalah korupsi yang terjadi secara besar-besaran di tengah bangsa yang sangat religius ini.
Korupsi hanya sebagai gejala permukaan, tetapi semuanya muncul dari kultur masyarakatnya di mana ikatan sosial dan ketika ikatan moral sudah mulai melemah. Apalagi ada kecenderungan sebagian masyarakat yang sangat menghormati koruptor ketika sang koruptor dermawan, seolah mereka tidak bersalah. Kelemahan mental itu mengakibatkan lemahnya kesadaran hokum dan melemahnya kekuatan politik dalam menjalankan amanah kekuasaan yang diberikan masyarakat.
Untuk melakukan revolusi kebudayaan ini memang tidak sederhana, diperlukan adanya politik kebudayaan yang utuh di mana di dalamnya tercakup strategi kebudayaan yang matang dan tepat, sehingga revolusi kebudayaan yang dijalankan benar-benar menyeluruh meliputi seluruh dimensi kehidupan, bukan sekadar perubahan politik, atau perubahan orientasi ekonomi tetapi mengubah seluruh pandangan hidup masyarakat sendiri. Revolusi mental menjadi bagian penting dari revolusi kebudayaan, karena pada dasarnya revolusi kebudayaan adalah revolusi mental, yang menjadi dasar bagi revolusi politik atau revolusi struktur, kelembagaan.
Kalau revolusi fisik dan revolusi politik bisa dikategorikan sebagai jihad asghar (perjuangan kecil), maka revolusi kebudayaan ini merupakan jihad akbar (perjuangan besar), karena yang diubah secara mendasar mental manusianya, karena itu revolusi ini lebih berat tetapi lebih panjang dan mendasar pengaruhnya. Karena itu revolusi kebudayaan dilakukan setelah revolusi fisik dan revolusi politik, sebagai puncak kedua revolusi tersebut.
Kita bisa saksikan kenyataan di negeri ini, semua struktur politik telah diubah dengan harapan kehidupan bisa berjalan lebih baik. Namun karena perubahan struktur tidak disertai dengan perubahan sikap dan mental serta kesadaran, maka perubahan struktur tidak membawa pengaruh bagi perbaikan kehidupan masyarakat, sebaliknya semakin menghancurkan tata nilai yang ada di masyarakat. Struktur berubah tetapi kulturnya tidak diubah maka tidak mendapatkan hasil seperti yang dicita-citakan.
Restrukturisasi politik tanpa disertai reorientasi kebudayaan akan mengalami kesia-siaan, bahkan akan mengarah pada involusi, ketika keadaan menjadi semakin ruwet dan semakin buruk justru setelah diperbaiki. Kalau revolusi politik perlu dilanjutkan pada revolusi kebudayaan demikian juga restrukturisasi politik perlu dilanjutkan dengan reorientasi kebudayaan, agar langkah yang dilakukan tidak mengalami kebuntuan, sebaliknya menemukan arah untuk mencapai tujuan. (Abdul Mun’im DZ)