Risalah Redaksi

Soal Tradisi Ganti Menteri, Ganti Kebijakan Pendidikan

Rabu, 10 Agustus 2016 | 23:04 WIB

Ungkapan lama yang disematkan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia “ganti menteri, ganti kebijakan” tampaknya masih saja berlaku. Dari dulu, setiap menteri baru di Depdikbud, sebutan lama untuk kementerian ini, selalu berusaha melakukan perubahan, entah berbagai kebijakan baru atau kurikulum baru. Toh, dari sekian banyak menteri dan harapan-harapan yang dimunculkannya, kualitas pendidikan kita belum beranjak jauh. Kita menyadari pentingnya peran pendidikan dalam membangun peradaban bangsa. Sayangnya berbagai upaya tersebut belum menunjukkan hasil sebagaimana ditujukkan oleh sejumlah indikator yang dipakai secara global, kualitas pendidikan di Indonesia masih medioker.
 
Ide kontroversial datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy yang baru dilantik pada 27 Juli lalu. Ia melontarkan wacana pemberlakukan full day school untuk sekolah dasar dan menengah negeri sebagaimana yang sudah dijalankan oleh sejumlah sekolah swasta atau diberlakukan di Finlandia sebagaimana dirujuknya. Mendikbud beralasan daripada anak-anak sekolah keluyuran sepulang sekolah, lebih baik menghabiskan waktu di sekolah sampai sore dengan diisi sejumlah kegiatan ekstrakurikuler sekaligus membangun karakter. Para siswa pulang bersamaan dengan jam pulang kantor orang tuanya sehingga tiba di rumah dalam waktu yang hampir sama.

Segera saja, dalam dunia di mana informasi dengan cepat tersebar, ide tersebut menjadi perbincangan publik dan menimbulkan pro-kontra, dengan dominasi mereka yang tidak setuju. Ada sejumlah alasan mengapa banyak anggota masyarakat tidak setuju, seperti kebijakan yang bias masyarakat urban sementara sebagian besar rakyat Indonesia masih tinggal di pedesaan dan orang tuanya bekerja di sektor informal. Belum lagi kemungkinan soal stress yang dialami siswa karena terlalu lama di sekolah, transportasi pulang dari sekolah yang susah di sore hari, kurangnya fasilitas yang memadai di sekolah untuk menjalankan ekstrakurikuler, dan seabrek alasan lainnya yang dikemukakan.

Bagi NU, alasan utama ketidaksetujuannya adalah karena pada sore hari merupakan hari bagi anak-anak untuk belajar di sekolah diniyah atau belajar mengaji. Jika sekolah sampai sore hari, otomatis tidak ada waktu untuk belajar agama secara memadai. Alasan ini pula yang disampaikan NU kepada Gubernur Jawa Tengah yang pernah memutuskan pelaksanaan sekolah di wilayah tersebut sampai sore sehingga siswa cukup lima hari saja pergi ke sekolah dalam seminggu. Ada problem jangka panjang saat anak-anak tidak mendapatkan pendidikan agama, yaitu potensi radikalisasi. Remaja usia sekolah yang menjadi radikal rata-rata terjadi di sekolah umum yang tidak mendapat pendidikan agama yang memadai. Mereka akhirnya mendapat ajaran agama dari kelompok tertentu yang dengan sengaja menyebarkan ajarannya lewat sekolah. Jika ini terjadi, Indonesia dalam bahaya besar akan munculnya kelompok ekstrem dengan populasi yang membesar.
 
Untuk menyelesaikan kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia, inovasi dan kreativitas yang out of the box memang sangat diperlukan. Namun demikian, sebuah ide dari seorang pengambil kebijakan sebaiknya dikaji dan diteliti dulu dalam berbagai aspek sehingga terukur kelayakannya. Jangan sampai wacana tersebut menimbulkan kegaduhan di zaman yang sudah gaduh ini. Melempar ide dulu, baru membuat kajian ini merupakan tradisi dalam birokrasi kita. Tradisi riset yang mendahului pembuatan kebijakan belum berjalan dengan baik. Riset masih dianggap belum terlalu penting dalam bagian hidup kita, padahal negara sudah membiayai anak-anak cemerlang untuk sekolah sampai tingkat doktor agar bisa melakukan riset dengan baik. Ini lebih pada soal kemauan politik, bukan soal kapasitas melakukan kajian. Tentu kita tidak ingin kesalahan-kesalahan dalam pengambilan kebijakan yang menyebabkan rakyat banyak menjadi korban tersebut terus terulang. Melakukan kajian secara mendalam dengan melibatkan berbagai pihak terkait merupakan langkah untuk mengurangi munculnya masalah yang tidak diinginkan. Riset juga harus dilakukan secara independen, jangan sampai hanya untuk menegaskan apa yang diusulkan oleh sang menteri itu sudah benar. Sikap asal bapak senang (ABS) juga masih menjadi persoalan yang menghantui pembuatan kebijakan di negeri ini. (Mukafi Niam)


Terkait