Risalah Redaksi

Tidak Ada Kebebasan untuk Menghina

Selasa, 25 Maret 2008 | 05:41 WIB

Semangat crusade (perang salib) itu ternyata masih menggejala di sementara  masyarakat Eropa, walaupun mereka itu sudah merasa agnostik bahkan ateis, yang sama sekali tidak lagi percaya pada iman Kristiani, tetapi rasa permusuhan terhadap Islam tidak pernah luntur. Penghinaan terhadap Nabi Muhammad dan penodaan terhadap Al-Qur’an dan umat  Muslim pada umumnya telah menjadi ritual, dilakukan secara berkala. Suatu ketika muncul di Denmark setelah mendapat protes keras lalu mereda, kemudian muncul lagi di Swedia, ketika dikritik lalu saat ini muncul di Belanda bahkan muncul dari tokoh partai politik negeri itu.

Mengapa komunitas yang merasa telah tercerahkan, merasa maju tetapi masih membesarkan tindakan primitif, sementara pemerintah membiarkan mereka dengan dalih kebebasan berkreasi dan kebebasan berekpresi. Ini salah satu kerabunan modernitas yang menafsirkan susuatu dengan kepentingan politiknya sendiri. Tindakan yang jelas merugikan bangsa lain dan agama lain, yang menimbulkan banyak korban dianggap sekadar kebebasan berekspresi. Tidak ditegaskan sebagai tindakan kriminal. Pemerintah Eropa juga merasa tidak punya hak untuk melarang karena kriminalitas mereka dijamin oleh undang-undang.<>

Sekali kolonial tetap kolonial. Itu istilah yang sering digunakan oleh aktivis kebangsaan selama ini. Kecuali pemerintah Eropa dengan Uni Eropanya mau mengubah sikap yang mengobarkan api permusuhan semacam itu. Kriminal kebudayaan itu haruslah dianggap kriminal, perluasannya harus dicegah, pelakunya harus dihukum. Namun, yang terjadi sebaliknya, mereka justru diberi keleluasan, bahkan diberi penghargaan atas keberanian menerobos konvensi.

Maka kegigihan lembaga sensor film yang didukung oleh para pemuda dan ulama untuk mepertahankan lembaga sensor itu menjadi sangat relevan, agar peredaran film tidak merusak mental generasi muda. Lembaga sensor oleh para penggiat film porno yang liberal hendak dihapus, karena tidak sesuai dengan UUD 45 (amandemen yang liberal). Mereka itu dengan tidak sopan mencaci maki para anggota lembaga itu. Seandainya kemauan mereka dituruti maka akan rusaklah bangsa yang reliogius ini. Pembuatan film porno yang penuh dengan adegan seks dan kekerasan itu dianggap hanya penyampaian informasi yang telah dijamin kebebasannya.

Padahal taayangan itu memeiliki pengaruh besar terhadap mental bangsa ini. Sejalan dengan itu gerakan anti moralitas memang sedang digiatkan oleh kelompok liberal terutama para aktivis emansipasi wanita, karena pembukaan aurat di publik bukan pornografi tetapi sebagai seni. Penghinaan dan eksploitasi terhadap wanita ini dianggap sebagai bentuk emansipasi. Ini telah menjadi gerakan yang tekah menyesatkan termasuk di kalangan Muslimah sendiri. Banyak aktivis Muslimah yang dengan naïf mendukung gerakan pornografi. Padahal ini gerakan anti moral yang merupakan inti dari agama.

Karena itu kelompok ini sangat peduli kalau terjadi konflik antara kelompok mayoritas dengan minoritas, termasuk monoritas bermasalah. Ketika terjadi penghinaan terhadap agama, oleh kelompok Eropa yang terjadi berkali-kali itu mereka tidak peduli. Mereka melarang orang untuk protes, mereka disuruh bertoleransi. Menerima penghinaan dianggap sebagai kedewasaan dalam beragama. Padahal ini merupakan kebebalan, mati rasa dan masa sikap bodoh terhadap kriminalitas. Tidak boleh dibiarkan kebebasan untuk menghina kelompok lain, karena ini kriminal.

Orang liberal adalah orang individualis, sejauh kepentingannya sendiri sudah tercukupi mereka tidak akan memperhatikan kepentingan publik. Soal moral dianggap sebagai hanya persoalan pribadi, bukan sebagai karakter bangsa. Mereka pun tidak peduli pada bangsa, sebab manusia individual merasa dirinya universal, menerima apa saja yang dianggap menyenangkan dan menguntungkan dirinya. Pendirian mereka sangat sesuai dengan watak kapitalisme, karena itu mereka difasilitasi, diperalat untuk mengembangkan kebebasan untuk memudahkan masuknya investasi dan infiltrasi. Dengan demikian suatu bangsa akan mudah terkuasasi secara budaya dan dengan sendirinya akan terkuasasi secara politik.

Jadi apa yang diperjuangkan kelompok agama dan PBNU khususnya, bukan sekadar bersifat moralistis, tetapi sebagai wujud dari upaya mempertahankan eksistensi dan martaabat  bangsa. Karena bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang memiliki kepribadian. Hanya bangsa ini yang dihormati bangsa lain. Maka ketika Nabi mengatakan bahwa Islam datang untuk menyempurnakan akhlak manusia (buitstu liutamimma makarimal akhlaq), sebenarnya juga berarti datang untuk menyelamatkan manusia. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait