Baru saja Allah memberikan isyarat penting pada bangsa ini yakni berdampingannya dua peristiwa penting yaitu peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang merupakan proses transformasi bahkan revolusi menuju kemerdekaan bangsa ini. Berbarengan pula dengan peringatan Isra’ Mi’raj yang merupakan sebuah proses transendensi. Tetapi sayangnya isyarat yang begitu penting itu tidak cukup banyak dipahami oleh umat beragama bangsa ini, sehingga momen penting itu berlalu begitu saja.
Isra’ adalah sebuah transformasi yang bersifat horisontal, tidak hanya dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga proses transformasi dari satu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik. Proklamasi kemerdekaan, 61 tahun yang lalu itu sendiri merupakan sebuah bentuk Isra’ dari bangsa ini. Sebuah Isra’ atau transformasi dari masyarakat yang terbelenggu dan terjajah, menjadi masyarakat yang merdeka.
<>Semestinya dalam kesempatan ini, bangsa Indonesia juga sudah saatnya melakukan Isra’, dari kondisi yang sepenuhnya terdominasi atau terjajah oleh bangsa lain, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk mengatur bangsa sendiri, mendidik bangsa sendiri, bahkan tak mampu menghidupi bangsa sendiri, sehingga hanya bisa meminta atau mengutang pada bangsa lain. Bahkan tidak sedikit diberi hibah bangsa lain sehingga menjadi bangsa pengemis. Semua terjadi akibat kehilangan harga diri, kehilangan identitas, sehingga seluruh sektor kehidupan diserahkan pada asing yang sengaja mau memonopoli dan mendominasi.
Memperingati hari kemerdekaan itu semestinya semangat Isra’ dikobarkan kembali agar bangsa ini bisa keluar dari sistem penjajahan yang menyengsarakan rakyat ini. Memang seolah pemerintah ada, tetapi tidak memiliki kedaulatan. Demikian juga parlemen, ada tetapi hanya merupakan tim pendukung, pemberi legitimasi kekuatan penjajah asing melalui berbagai perundang-undangan deregulasi, privatisasi yang sangat merugikan rakyat. Karena itu rakya jatuh miskin, tidak bisa sekolah, tak mampu membiayai kesehatan bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kita harus berani keluar dari kondisi semacam itu dengan melepaskan diri dari segala pemikiran, peraturan dan kebijakan yang membelenggu. Bagaimanapun pertama yang dijajah dari bangsa kita adalah cara berpikirnya, kemudian dijajah secara politik dan ekonomi. Maka, melepas belenggu kesadaran dan pemikiran itu yang mesti dilakukan. Hanya dengan cara itu kita akan berani merombak sistem politik, ekonomi dan kebudayaan yang hegemonik ini menjadi sistem yang membebaskan bangsa Indonesia.
Ketika sudah berhasil meng-isra’-kan diri (mentransformasi diri) itu, maka baru akan bisa dilakukan Mi’raj (langkah menuju transendensi), yakni meningkatkat harkat, martabat bangsa ini. Hal itu dilakukan dengan menciptakan berbagai kemajuan di bidang spiritualitas, intelektualitas serta moralitas, sehingga menjadi bangsa yang dihormati bahkan disegani bangsa lain, karena ketinggian peradabannya. Peradaban bukan dibangun berdasarkan bangunan fisik serta kekayaan materi, tetapi dibangun dengan moralitas dan intelektualitas.
Tantangan yang mesti dihadapi gagasan ini adalah adanya mental terjajah, mental inferior yang diidap bangsa ini, yang bisanya hanya meniru, meminjam dan “membebek” bahkan penakut untuk mau berubah dan mengambil risiko. Kelompok ini yang harus digarap, agar tidak menjadi penghalang proses transformasi dan transendensi bangsa. Padahal eksistensi bangsa ini sangat mengandaikan adanya kedua proses tersebut. Kalau tidak menjadi bangsa yang penuh ironi, bagaimana setiap tahun kemerdekaan dirayakan, tetapi setiap tahun juga kebebasan, kedaulatan dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan.
Mestinya kita bertanya apakah kita telah benar-benar merdeka? Kalau belum bagaimana memperjuangkannya? Sudah terlalu lama bangsa ini menderita dan penderitaan itu semakin parah ketika krisis ekonomi terjadi. Krisis tersebut terjadi bukan karena kecelakaan, melainkan hasil sebuah persekongkolan kapitalisme global yang berusaha mengeruhkan kolam. Di tengah kekeruhan politik dan ekonomi itu mereka mengeruk kekayaan bangsa ini, sehingga negara menjadi lumpuh. Perbaikan yang bersifat sektoral akan sia-sia tanpa disertai upaya membangkitkan kesadaran bangsa untuk bergerak dan bertindak. (Mun’im DZ)