Risalah Redaksi

Warga Menggerogoti Negara

Jumat, 30 Desember 2005 | 08:52 WIB

Negara ini dirintis, didirikan dan dibangun oleh seluruh warga-bangsa dengan segala pengabdian dan pengorbanan. Korban harta benda, pikiran dan bahkan nyawa. Dari pengorbanan itulah negara republik ini berdiri, kemudian dibangun dengan semangat juang dan hampir tanpa modal uang.

Semua diundang atau tidak, datang untuk mengabdi pada negara. Pengorbanan dan pengabdian itu seolah menjadi prinsip bangsa ini selama beberapa dekade yang lalu. Dengan modal itu negara RI yang baru berdiri bisa tegak dan disegani oleh bangsa lain, baik karena harga dirinya atau prestasinya.

<>

Dulu pernah muncul klaim dan tuntutan sekelompok angkatan, yang hendak melestarikan hak istimewanya atas negara ini karena merasa sebagai satu-satunya kelompok pejuang kemerdekaan. Sehingga mereka yang di luar angkatan atau generasi itu dianggap tidak memiliki hak atas kepemimpinan negara. Ternyata generasi itulah yang memulai ‘menggerogoti’ republik yang dulu diperjuangkan itu untuk kepentingan korpnya.

Kalau selama ini ‘penggerogotan’ negara hanya dilakukan sekelompok orang secara samar-samar, belakangan penggerogotan negara dilakukan secara terbuka, bahkan berdasarkan hukum dan undang-undang dasar terbaru. Bayangkan, bagaimana sebuah konstitusi yang melegitimasi rakyat atas nama kebebasan untuk menghisap negara. Dengan landasan konstitusional yang kuat, penghisapan atas aset negara menjadi semakin merajalela, walaupun secara etika hal itu tidak bermoral, tetapi secara hukum hal itu legal.

Saat ini dengan alasan penguatan demokrasi, dibentuk berbagai lembaga negara, sehingga yang ada tidak hanya legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi dilengkapi dengan lembaga baru yang melaksanakan tugas sama, baik dengan menggunakan nama komisi. Ada komisi hak asasi manusia, komisi anti korupsi, komisi yudisial, komisi pemilu, komisi penyiaran, komisi ombudsmen, komisi konstitusi dan seterusnya yang tak terhitung. Fungsinya pun tumpang tindah satu sama lain, dan mengambil alih tugas tiga lembaga negara yang telah ada.

Komisi yang dibentuk secara ad hoc dan bersifat situasional-reaktif tersebut tidak pernah bekerja efektif, kemudian hanya sebagai lembaga penampungan tenaga kerja, khususnya para pensiunan. Ironisnya lembaga tersebut bukan bersifat oluntari dari segi semangat pengelolaannya, melainkan dikelola secara bisnis. Karena itu, mereka menuntut gaji yang sangat tinggi, belasan hingga puluhan juta rupiah per bulan. Sementara lembaga tinggi negara juga tidak kalah progresifnya dalam meningkatkan kesejahteraannya sendiri.

Di tengah negara yang sedang mengalami krisis ini, di mana rakyat banyak menjadi miskin karena kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak memihak rakyat, tiba-tiba pemerintah menaikkan gaji dan tunjangan DPR. Diikuti kemudian kenaikan gaji eksekutif, dari presiden, gubernur hingga bupati.

Gaji presiden mencapai ratusan juta, gaji gubernur Bank Indonesia (BI) juga mencapai ratusan juta. Semua kelompok itu adalah komunitas yang menentukan kebijakan, sehingga bisa menentukan gaji kelompoknya sendiri. Itu yang dinamakan menggaji diri sendiri dengan uang rakyat dan negara.

Sementara, semua orang tahu bahwa penghasilan negara yang sedang krisis ekonomi ini tidak terlampau tinggi, bahkan masih defiisit anggaran, karena harus selalu membayar utang negara yang begitu besar. Akhirnya seluruh kebutuhan penyelenggaraan negara, termasuk pengajian harus ditutup dengan uang pinjaman. Tetapi sayang uang hasil utang yang bebannya ditanggung rakyat tersebut hanya dinikmati segelintir elite negara, baik yang ada di lembaga negara maupun yang ada dalam berbagai komisi bentukan itu.

Hal ini sangat kontras dengan apa yang baru saja terjadi di Bolivia, bagaimana seorang presiden yang memiliki tanggung jawab moral dengan gaji yang hanya sekitar empat juga rupiah itu, masih dipotong separuhnya untuk disumbangkan pada rakyatnya, diikuti kemudian para pejabat tinggi negara lainnya. Tindakan tersebut tentu akan sangat menghemat anggaran negara, sehingga negara bisa maju secara mandiri, tidak dililit oleh utang. Sementara di Indonesia, gaji yang sudah puluhan juta itu masih digelembungkan lagi hingga menjadi ratusan juta.

Dengan cara itu, bagaimana negara mau bangkit karena dililit utang. Yang dilakukan kemudian menjual semua hasil tambang, perusahaan-perusahaan negara dan sebagainya pada pihak asing. Sementara penguasaaan sektor ekonomi oleh kelompok asing, akan berakibat pengendalian pada sistem politik.

Kalau politik sudah dikendalikan, maka kebijakan negara tentu tidak berpihak lagi pada rakyat, melainkan berpihak pada pengusaha. Hal itu yang terjadi di Indone


Terkait