Taushiyah

Islam dan Hak Asasi Manusia

Senin, 23 November 2015 | 02:03 WIB

Oleh KH Abdurrahman Wahid
Tulisan-­tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebut Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. <>Justru di negeri­negeri muslim­lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia. Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktik kehidupan.

Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al­Maududi, seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM. Bahkan, baginya hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme adalah ideologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan Allah Swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah Swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan adanya hubungan antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan­tindakan manusia? Al­Maududi tidak mau menjawab pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.

Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan, yang kemudian melahirkan Pakistan, tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Jenderal Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah me­menangkan kepresidenan Pakistan melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan­tuduhannya, bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orang­orang yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri?

***

Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas Deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia. Padahal fiqh/hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa di hadapan kita hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak Deklarasi Universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan al­Maududi terhadap Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/hukum Islam itu sendiri. Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.

Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/hukum Islam, yang secara formal sudah berabad­abad diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita hanya kepada Allah dan utusan­Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubah­ubah maka hilanglah ke­Islaman kita.

Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qurân dan alHadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktik­praktik perbudakan, kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok­kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktik semacam itu akan hilang dengan sendirinya.

Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini kepada mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qurân, “Semuanya akan binasa dan yang tetap hanya Dzat Tuhanmu (Kullu man ‘alayha fânin. Wa yabqâ wajhu rabbika)” (QS al­Rahman [55]: 26­27) menunjukkan hal itu dengan jelas. Ketentuan ushûl fiqh (Islamic legal theory) “Hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab­sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman)” jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini.

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip­prinsip yang digunakan”. Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obat­obat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam memang menjadi agama di setiap masa dan tempat (shalihun li kulli zamân wa makân). Indah bukan, untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup?



*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).


Terkait