Tokoh

Kepahlawanan KH Anwar Musaddad

Jumat, 10 April 2015 | 13:01 WIB

Kehidupan KH Anwar Musaddad, sejak lahir tahun 1910, hingga wafat tahun 2000, terbagi dalam beberapa episode yang menjadikan dirinya sebagai patriot, pendidik, juru dakwah, penulis, dan ulama panutan umat.
<>
Sejak berusia 4 tahun, menjadi yatim. Sehingga bersama adik-adiknya, dibesarkan oleh ibunya, Siti Marfu’ah, seorang wiraswasta pengusaha batik Garutan dan dodol Garut “Kuraesin”. Rajin mengaji khusus hafalan Al Quran (tahfidz) dan fiqh. Usia sekolah, masuk HIS Kristen, karena sebagai pribumi bukan anak pegawai negeri (ambtenar) dan bukan dari kalangan bangsawan (menak) tidak dapat masuk HIS Negeri.

Setamat HIS Kristen, melanjutkan ke MULO Kristen di Sukabumi, sambil belajar mengaji dan memperdalam ajaran Islam kepada Ustadz Sakhroni. Setamat MULO Kristen Sukabumi (1925), Musaddad melanjutkan ke AMS Kristen, Jakarta. Tapi hanya dua tahun duduk di bangku AMS Kristen Jakarta, Musaddad pulang ke Garut. Masuk pesantren Cipari, Wanaraja asuhan Kiyai Harmaen, salah seorang ulama yang terkenal “lébér wawanén” (sangat berani) menentang pemerintah kolonial Belanda, dan memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan aktip di “Syarikat Islam” pimpinan HOS Cokroaminoto.

Dari Cipari, Musaddad berangkat ke Jakarta, untuk memperdalam bahasa Arab di Madrasah Al Ikhlas Jakarta.Menumpang di rumah HOS Cokroaminto, yang merupakan sahabat Kyai Harmaen. Sehingga mulai memahami politik dan dunia tulis menulis. Musaddad membantu SK Fajar Asia, yang dipimpin Cokroaminoto, dengan menerjemahkan berita-berita dari bahasa Belanda, untuk media perjuangan tersebut.

Itulah episode awal pembentukan jiwa intelektual Anwar Musaddad, yang kemudian matang di dunia politik dan piawai menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Episode selanjutnya, masa belajar di Mekkah, 1930-1941. Ia memuntut ilmu kepada para ulama terkenal Mekkah masa itu. Antara lain Sayyid Alwi al Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin Qubti, Syekh Janan Toyyib (Mufgi Tanah Haram asal Minang), Syekh Abdul Muqoddasi (Mufti Tanah Haram asal Solo).

Tahun 1939, pecah Perang Dunia II. Musaddad aktif dalam pembentukan Komite Kesengsaraan Mukimin Indonesia (Kokesin), yang mengusahakan pertolongan kepada para mukimin dan membantu pemulangan mereka ke tanah air. Setelah tiba di tanah air, tahun 1941, Musaddad aktip menjadi juru dakwah dan mengajar agama pada beberapa sekolah yang ada di Garut.Antara lain, Sekolah Normal Guru Islam, yang didirikan Syarikat Islam.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Priangan, dan menjadi Ketua Masyumi daerah Priangan. Setelah proklamasi kemerdekaan, diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Priangan. Pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), bersama KH Yusuf Taujiri dan KH Mustofa Kamil, memimpin pasukan Hizbullah, melawan agresi Belanda yang ingin kembali menjajah RI. Sempat ditangkap Belanda (1948) dan mendekam di penjara.Baru dibebaskan setelah pengakuan kedaulatan (1950).

Selanjutnya, mendapat tugas dari Menteri Agama KH Fakih Usman untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) di Yogyakarta, yang menjadi cikal-bakal Institut Agama Islam Negeri (IAIN), kemudian menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) di seluruh Indonesia. Di bidang politik, Anwar Musaddad menjadi anggota parlemen (DPR) dari Partai Nahdlatul Ulama (NU) hasil pemilihan umum tahun 1955. Menjadi anggota DPR-GR 1960-1971, dan menjadi Wakil Rais ‘Am PBNU pada Muktamar NU di Semarang (1980)*1).

Dari paparan di atas, tampak jelas, Anwar Musaddad memiliki andil besar dalam percaturan nasional,sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan . Sebagai ulama yang faham betul prinsip “hubbul wathon minal iman” (Cinta tanah air bagian dari iman), Anwar Musaddad terlibat langsung dalam mewujudkan dan membela kemerdekaan tanah air. Keterlibatannya dalam membela kehidupan para mukimin Indoenesia di Saudi Arabia, agar tidak terdampak hal-hal negatif dari Perang Dunia II (1939-1945), sejajar dengan keterlibatannya dalam memimpin Hizbullah selama perang kemerdekaan menegakkan proklamasi, merupakan wujud patriotisme yang luar biasa. Pesantren Cipari, tempat Anwar Musaddad menutut ilmu sebelum berangkat ke Mekkah, adalah sebuah pesantren multifungsi.Selain mendidik para santri menyelami ilmu-ilmu agama Islam, untuk mencapai taraf”tafaquh fiddin” (ahli agama), juga menggembleng para santri untuk mencintai tanah air dan siap melawan penjajah.

Pasukan kolonial Belanda, pada masa perang kemerdekaan, sering ketakutan menghadapi semangat juang para santri dan ajengan pesantren Cipari, yang menjadi basis pertahanan para pejuang kemerdekaan di kawasan timur Kabupaten Garut. Sosok dan peran Anwar Musaddad tidak dapat dipisahkan dari gerak anti kolonialisme Pesantren Cipari *2).

Di bidang pendidikan, untuk mengggembleng sumberdaya manusia yang lengkap sempurna, selain mendirikan PTAIN/IAIN, ketika menjadi Rektor IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung (1968-1975) Anwar Musaddad juga mendirikan Sekolah Persiapan IAIN (SP IAIN) di Garut, Cipasung Tasikmalaya, Cilendek Bogor, Ciparay Bandung, Majalengka, dll.Tujuannya, agar jumlah mahasiswa IAIN meningkat. Tujuan lainnya, sebagai perwujudan obsesi Anwar Musaddad “mengulamakan intelektual” dan “mengintelktualkan ulama”.

Karena kenyataan di lapangan waktu itu, banyak ulama yang tidak “intelek”. Hanya memahami ilmu-ilmu agama, tanpa mengenal ilmu-ilmu umum. Begitu pula, banyak intelektual hanya menguasai ilmu-ilmu umum, tapi tak mengenal ilmu agama. Banyak jalan ditempuh Anwar Musaaddad dalam mewujudkan obsesinya itu.

Selain melalui jalur formal (pembentukan IAIN, SP IAIN, dll), juga jalur non-formal. Seperti “kursus politk" yang diselenggarakan th. 1964-1965, kepada para santri dan kiyai, dalam rangka pencegahan penyebaran faham komunisme dan penetrasi Partai Komunis Indonesia(PKI) di daerah-daerah, khususnya Garut*3). Lahan dan sasaran dakwah Anwar Musaddad, tidak hanya terbatas di lingkungan perkotaan, kampus atau lingkungan akademik saja.Melainkan juga kampung-kampung dan pedesaan terpencil yang belum dapat dimasuki kendaraan. Jangankan roda empat, roda dua pun masih sulit. Maka terpaksa menempuh jalan kaki. Materi dakwah yang disampaikan juga, beragam. Untuk lingkungan kota dan akademik, mungkin yang muluk-muluk tinggi serba ilmiah. Sedangkan untuk di kampung-kampung, sangat sederhana namun amat penting untuk diketahui dan difahami masyarakat keseluruhan.Terutama dalam pengetahuan ilmu fiqh dan penerapannya.*4)

Walaupun Anwar Musaddad seorang Nahdliyin, bahkan menduduki posisi puncak di kepengurusan NU tingkat pusat, namun tidak fanatik mazhab atau pendapat yang bersifat “furuiyah” (ranting masalah) yang kerap menimbulkan perbedaan faham. Anwar Musaddad selalu mengambil jalan tengah. “Khoirul umur awsatuha”. Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah*5) Selain materi-materi praktis yang dibutuhkan dalam praktek peribadatan sehari-sehari, seperti bersuci, pada lingkungan pendengar (mustami) tertentu, kadang-kadang Anwar Musaddad menyampaikan materi mengandung unsur “sufistik” (supranatural), baik berdasarkan pengalaman sendiri, maupun mengutip referensi kitab-kitab klasik**6).

Pengajian khusus yang diselenggarakan Anwar Musaddad, seperti “kursus politik” seperti disinggung di atas, adalah pembacaan kitab “Hikam” sebulan sekali. Diikuti para kiyai dari berbagai pesantren seluruh Garut, bahkan Bandung,Tasikmalaya dan Sumedang. Keluasan pengetahuan Anwar Musaddad yang sangat holistik, dan komprehensif integral,membuat para pendengar terpana mendengar pembahasan isi kitab klasik yang sulit difahami itu.*7).

Akhirul Kalam Menyaksikan dan merasakan jejak langkah KH Anwar Musaddad, sebagian besar orang sudah menganggap Anwar Musaddad sebagai “pahlawan”. Minimal pahlawan bagi lingkungan keluarga, warga Nahdliyin dan civitas akademika IAIN serta pesantren-pesantren yang para kiyainya berguru kepada Anwar Musaddad. Sebuah pengakuan yang cukup kuat, untuk menjadikan Anwar Musaddad pahlawan legal formal, seperti umumnya para pahlawan nasional yang diakui pemerintah.***** (Usep Romli HM)


Catatan :
1.Riwayat hidup Anwar Musaddad, dapat dilihat antara lain dalam buku “Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi” (Pustaka Jaya,2000) hal. 56.

2.Pesantren Cipari, merupakan salah satu pesantren tertua dan terkenal di Kab.Garut,di samping Keresek (Cibatu), Kudang(Limbangan), Al Hikmah (Tarogong). Sebuah “ceritera rakyat” (folklore) yang dihimpun Panitia Tahun Buku Internasional Indonesia 1972, UNESCO, mengisahkan patriotisme para santri dan kiyai Cipari. Disebutkan, th.1948, pasukan Belanda dari Cibatu, akan menyerang Cipari. Karena berita mendadak, dan hari Jum’at pula, penduduk dan para pejuang tidak sempat menghindar.Mereka terkepung oleh pasukan bersenjata lengkap. KH Anwar Musaddad dan KH Yusuf Taujiri, menyuruh laki-laki masuk masjid untuk bersiap melaksanakan salat Jum’at. Sebelum tiba waktu adzan, KH Anwar Musaddad memimpin pembacaan do’a “Hizib Bahri”. Setelah adzan, KH Yusuf Taujiri berkhotbah. Selama khotbah tidak ada seorangpun jamaah yang tertidur seperti biasanya. Usai salat Jum’at, seorang penduduk melaporkan, tentara Belanda yang mengepung pesantren semua tertidur lelap. Bergelimpangan di pematang, jalan setapak, kebun, dsb. Mereka baru terbangun setelah hari menjelang senja. Pesantren Cipari telah sepi ditinggalkan penghuninya mengungsi ke tempat aman. Kisah serupa dapat ditemukan dalam buku “Berangkat dari Pesantren” karya KH Saifuddin Zuhri (1986) hal.271. Terjadi di Ambarawa.Tentara Inggris dan NICA (Belanda), yang sedang mengepung markas pejuang, tiba-tiba mengundurkan diri sebelum subuh tiba. Pada waktu, para pejuang yang dipimpin KH Syaifuddin Zuhri, KH Dahlar, dll., semalaman membaca wirid “Hizbun Nashr “. Tampaknya pembacaan wirid atau hizib ini sudah menjadi tradisi di kalangan para ulama NU.

3). “Kursus Politik” yaitu pelajaran politik, ilmu dan praktek, dari seorang atau beberapa orang politikus kepada anggota partainya.KH Musaddad menyelenggarakan “kursus politik” kepada para ajengan pesantren yang berafiliasi kepada NU, anggota ormas NU (GP Ansor,PMII, IPNU).Tujuannya adalah, agar warga NU waspada menghadapi gerakan PKI yang mulai masuk ke desa-desa di Kab.Garut sejak th.1960. Para peserta kursus diharapkan mampu menggugah kesadaran masyarakat,warga NU khususnya, umat Islam umumnya, karena PKI menggunakan sayap organisasi “Ikhwanul Muslimin” untuk mengelabui umat Islam agar mau masuk PKI. “IM” PKI diketuai oleh KH Anwar Sanusi. Anak KH Anwar, yaitu Amir, pada waktu itu menjadi salah seorang anggota CC (pimpinan pusat) PKI yang diketuai DN Aidit. “Kursus Politik” di Garut, sebenarnya bukan hal baru.Tahun 1930-an, Syarikat Islam sering menyelenggarakan “kursus politik” di desa dan kecamatan. Dinamakan “verhadering” (diucapkan oleh masyarakat menjadi “pahadreng”. Perdebatan. Tokoh-tokoh SI pusat,seperti HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Abikusno, sering terjun ke Garut. Pada waktu bersamaan dengan “kursus politik” Islam Anwar Musaddad, di Garut terselenggara pula “kursus politik” untuk kaum nasionalis (PNI) di rumah Burhan Mustapa, Jl.Bank 14. BM terkenal sebagai tokoh PNI.Tapi salah seorang putranya., Awan Karmawan, aktip di Golongan Karya (Golkar). Sejak 1971 menjadi anggota DPR RI dari Golkar dan bertahun-tahun menjabat Ketua DPP Golkar hingga masa reformasi th.1998. 4).Hal-hal “ringan” tapi “berat” menurut ukuran dosa (kabair) sering dibahas dalam dakwah Anwar Musaddad. Misalnya, menganggap remeh air kencing. Sehingga sehabis kencing tidak bersuci. Padahal air kencing termasuk najis.

5). Masalah “furuiyah” yang kerap menjadi sumbner keributan di masyarakat awam, antara lain melalukan qunut pada salat subuh, mengucapkan niat (talafudz binniyat) sebelum salat dll.Jawaban Anwar Musaddad atas masalah ini, yaitu “jangan dipermasalahkan qunut atau mengucapkan niatnya. Permasalahkan saja orang yang tidak salatnya.

6). Pada pengajian khusus dan terbatas, Anwar Musaddad sering membahas kegunaan (kaifiat) ayat-ayat Quran, yang dikaitkan dengan permasalahan manusia sehari-hari. Seperti pemenuhan kebutuhan hidup, utang piutang dll.Dalam literatur Islam memang banyak kitab yang khusus membahas hal itu, walaupun timbul pro-kontra.Misalnya, kitab “Syamsul Ma’ariful Kubro” dan “Khozinatul Asror” karya Syekh Ali Al Buni (622 Hijrah) . Isi kitab tersebut banyak diamalkan khasiatnya, berupa do’a, wirid, hizib, isim dll, yang menggunakan ayat-ayat Quran. Ulama “moderen” seperti Syekh Abdullah bin Baz (Saudi Arabia), menganggap isi kitab semacam karya Al Buni, mengandung kesesatan. Mungkin jika dibaca dan diamalkan begitu saja oleh orang awam. Namun tidak bagi ulama sekelas Anwar Musaddad. Pada suatu kesempatan (1989), Anwar Musaddad membahas kaifiat S.Al Balad (surah No.90). Bahwa jika surat itu, dibaca tiga kali setelah salat sunat fajar (subuh), sebelum melaksanakan salat subuh, akan mendatangkan rejeki bagi pembacanya. Ketika it
u, ada seorang pendengar hendak bertanya mengenai kesahihan dalilnya. Tapi tiba-tiba datang tamu. Menyerahkan uang Rp 25 juta untuk pribadi, keluarga atau pesantren Musadad. Calon penanya bungkam menyaksikan hal itu dan Anwar Musaddad menyatakan inilah bukti keampuhan S.Al Balad untuk urusan rejeki, yang dibacanya sebelum salat subuh tadi.

7) Kitab "Hikam" karya Ibnu Atha'illah as Syukandari. Walaupun bukan kitab standard pokok seperti kitab-kitab fiqh, “Hikam” amat digemari para ajengan. Menjadi rujukan utama dalam merambah ilmu tasawuf, selain "Ihya Ulumuddin" karya Imam Gazhali. Sehingga jarang atau belum boleh dikaji oleh para santri. Sekalipun santri itu sudah senior. Sudah khatam ilmu "lugah". Yaitu kesempurnan ilmu bahasa Arab, mencakup tatabahasa (sharaf-nahwu), dan keindahan bahasa (balaghah, mencakup bayan, mani, badi, arudl, qawafi). Apalagi santri yang belum beres "dhoraba zaidun amron"nya alias belum tamat kitab "Alifyah". Kitab tatabahasa Arab dalam bentuk puisi (syair) seribu bait, yang harus hafal di luar kepala, mulai dari awal hingga akhir, kemudian mundur dari akhir hingga awal. Konsumen kitab "Hikam" harus sudah benar-benar seseorang yang telah berada pada "maqam" tinggi. Yang telah mampu memurnikan hati dari segala hal yang rendah, kasar, dan hina (at-takhalli minar radza-il), menghiasi hati dengan segala ucapan dan tindakan terpuji (ar-tahalli bil fadla-ili) dan membersihkan hati dari segala apa selain Allah SWT (at tabarri amma siwallahi). Karena itu, mengaji kitab "Hikam" jarang sendirian. Harus ada seorang "mursyid" yang memberi bimbingan. Selain karena bahasa yang digunakan Syekh Ibnu Atha'illah tergolong sukar, sangat "nyastra", juga banyak ungkapan-ungkapan yang perlu diulas dan dirinci oleh orang yang betul-betul telah memahaminya dengan bantuan referensi kitab-kitab lain. Termasuk kitab-kitab "syarah" (komentar) atas kitab "Hikam" sendiri, yang merupakan "matan" (bahasan pokok terbatas pada suatu masalah, menggunakan ungkapan ringkas, padat). Dalam mengaji "Hikam" para "mursyid" jarang menggunakan "matan". Melainkan kitab-kitab syarah, yang dalam khazanah sastra Arab , tercatat 24 kitab syarah "Hikam". Tapi kitab syarah "Hikam" paling terkenal dan paling banyak digunakan, adalah "Iqadzul Himam fi Syarhil Hikam" karya Al A'rif Billahi Ahmad bin Muhammad Ajibah al Hasaniy. Kitab-kitab syarah "Hikam" lain, seperti karya Ibnu Abbad ar Rondi, Abdullah bin Hijaziy as Syarqawi, Syekh Zarruk, dll., jarang dibacakan. Kecuali untuk referensi pribadi para "mursyid". Pengajian kitab "Hikam" juga rata-rata berlangsung terbatas. Sekedar "bilbarkah" (mencari berkah). Biasanya diikuti oleh para alumni satu pesantren di pesantren bekasnya belajar, kepada kiyai yang dulu menjadi gurunya di situ. Atau kepada sanak keturunannya, yang sudah menjadi kiyai pula. Mencari dan menyegarkan ilmu, sekaligus menjalin hubungan silaturahmi antara murid dengan guru, itulah "bilbarkah". Ukuran kitab "Hikam" sendiri, tergolong kecil dan tipis. Terdiri dari 294 kata-kata mutiara (hikmah) berbentuk aforisma-aforisma pendek, dan ditutup 42 munajat, yang juga berbentuk aforisma-aforisma puitik. Salah satu contoh aforisma kitab "Hikam" sebagai berikut : "Min alamati i'timadi alal 'amali nuqshanur raja-i inda wujudij jalali". Salah satu tanda bersandar pada amal, adalah berkurangnya harapan (raja) pada saat berbuat kesalahan. Pembahasan aforisma tentang watak manusa memuja-muja hasil kerja diri sendiri, dengan melupakan faktor pertolongan Allah SWT, akan sangat panjang lebar. Menghabiskan belasan halaman, karena menyangkut uraian tentang rahmat karunia Allah SWT kepada mahluqNya, takdir, amal soleh, dlsb., yang akan terkorelasi dengan uraian-uraian lain yang saling menunjang dan memperluas wawasan. Penulis kitab "Hikam", Syekh Athaillah as Syukandari, lahir di kota Iskandariah (Aleksandria) Mesir, th.658 H (1260 M). Sejak remaja menjadi murid seorang sufi asal Murcia, Andalusia (Spanyol), Syekh Abul Abbas al Mursi. Seorang "mursyid" tarekat Sadziliyah. Setelah Syekh Abbas wafat, Ibnu Athaillah melanjutkan tugasnya sebagai mursyid. Dari bahan-bahannya mengajar para murid itulah, terhimpun mozaik-mozaik kearifan yang menjadi cikal-bakal kitab "Hikam". Kemashuran kitab "Hikam" melampaui batas negara dan mazhab-mazhab tarekat. Orientalis Spanyol, Miguel Asin Palcios telah menerjamahkan "Hikam" ke bahasa Spanyol. Menurut Palacios, seorang mistikus Kristen Spanyol, Saint Jean de la Croix, sangat terpengaruh oleh "Hikam". Sehingga pendapatnya banyak yang mirip dengan aforisma "Hikam". KH Anwar Musaddad menyelenggarakan pengajian khusus kitab “Hikam” th.1984-1987 di rumahnya, Jl.Ciledug, Garut. Usai pengajian, para jamaah disuguhi makan siang, yang dimasak sendiri oleh KH Anwar Musaddad sejak pagi hari.***



Usep Romli HM, seniman budayawan. Mendapat penghargaan Sastra Sunda dari Yayasan Kebudayaan Rancage 2010 untuk bukunya “Sanggeus Umur Tunggang Gunung”, dan hadiah Rancage 2011 untuk jasa terhadap bahasa Sunda.Mendapat “Garut Award” dari Pemkab Garut (2010), Anugrah Budaya Gubernur Jabar (2012), dan “Asrul Sani Award” dan Lesmbumi/PBNU (2014) bidang “kesetiaan menulis”..


Terkait