Tokoh

Menjadikan Fikih Sebagai Pemikiran Sosial yang Dinamis.

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:43 WIB

Kiai Sahal merupakan tipe seorang ulama yang sejak awal kehidupannya tumbuh dan berkembang dalam tradisi pesantren. Pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia dengan segala subkultur dan kekhasannya, telah membentuk pribadi dan karakter Kiai Sahal. Meskipun oleh sebagian kalangan pesantren sering dikritik sebagai identik dengan kekolotan, keterbelakangan, tradisionalisme, jumud, dan seterusnya, ternyata dari sana muncul kader-kader bangsa dengan integritas moral yang tinggi, memiliki basis tradisi yang bail;, dan mampu beradaptasi dengan modernitas. Pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya ternyata mempunyai kontribusi yang tidak sedikit dalam mewariskan nilai-nilai dan kearifan hidup. Bahkan, kekayaan tradisi keilmuan pesantren yang ditransformasikan secara benar, dipandang sementara kalangan sebagai modal untuk menghadapi dinamika hidup dan modernitas.

Membaca riwayat hidupnya, kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa seluruh kehidupan dan aktifitas Kiai Sahal selalu terkait dengan dunia pesantren. Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdiannya. Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fikih tidak pernah diragukan. Dia bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, tapi juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Kiai Sahal bukan tipe seorang kiai yang terus berada di "singgasana" dan acuh dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Rintisan pengembangan ekonomi masyarakat (petani) di sekitar pesantrennya, bukan saja telah menyatukan pesantren dan masyarakat, tapi juga menunjukkan kepedulian yang tinggi dalam

<>

Bidang ekonomi rakyat.

Kredibilitas keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampirseluruh masyarakat, tidak saja di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terbukti dengan terpilihnya beliau sebagai Rais 'Am NU pada 1999, tapi juga di tingkat nasional terbukti dengan terpilihnya Kiai Sahal Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2000. Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan prinsip juga sisi lain dari kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam menyikapi berbagai problem sosial  menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth (Moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (egaliter) dan 1411), tapi juga menunjukkan kearifan pribadinya.

Dia lahir di desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937, putra KH. Mahfud Salam dan memiliki jalur nasab dengan KH. Ahmad Mutamakin. Ia memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (19431949), Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.. Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya sendiri, Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Tour di bawah asuhan Kiai Muhajir. Selanjutnya tahun 1957-x.960 d belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair.,Pada pertengahan tahun 1960-an, Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).

Hampir seluruh hidup Kiai Sahal berkaitan dengan pesantren. Pada 1958-1961 Kiai Sahal sudah menjadi guru di Pesantren Sarang, Rembang;1966-1970, dia menjadi dosen pada kuliah takhassus fikih di Kajen; pada 1974-1976 dia menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati;1982-1985 menjadi dosen di Fak. Syariah LAIN Walisongo Semarang; sejak 1989 hingga sekarang menjadi Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara. Tahun 1988-1990 dia menjadi kolomnis tetap di majalah AULA, sedangkan mulai 1991 menjadi kolomnis tetap di Harian Suara Merdeka (Jateng). Meski dia memiliki kesibukan sebagai

Rais'Am NU dan Ketua Umum MUI serta sebagai Rektor UNISNU, dia tetap menjadi pengasuh pesantren Maslakul Huda di Kajen, Pati. Kiai Sahal aktif di organisasi massa keagamaan, pertama-tama di NU sebagai Katib Syuriah Partai NU Cabang Pati pada 1967-1975, sampai kemudian dia menduduki jabatan tertinggi dalam organisasi ini, yakni sebagai Rais Am Syuriah PB NU untuk periode 1999-2004. Dalam waktu yang hampir bersamaan dia terpilih menjadi Ketua Umum MUI Pusat untuk periode 2000-2005. Dalam posisinya sebagai Ketua Umum MUI ini dia secara ex officio menjadi Ketua Dewan Syari'ah Nasional (DSN), sebuah lembaga yang berfungsi memberikan fatwa, kontrol dan rekomendasi tentang produk-produk lembaga keuangan syariah dan lembaga bisnis syari'ah.

Kiai Sahal termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi yang langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah ditulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan sebagian karya-karya tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999); Telaah Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).

 Pengembangan Ilmu Fikih

Pemikiran KHM A Sahal Machfudz yang tertuang dalam berbagai tulisannya menunjukkan bahwa dia mempunyai perhatian luas dalam berbagai isu, mulai dari pengembangan pesantren, kesadaran pluralisme, ukhuwaah Islamiyyah, penanganan zakat, dinamika dalam NU, manajemen dakwah, sampai pada masalah pengentasan kemiskinan. Di luar itu semua, kontribusi pemikiran yang paling menonjol dari Kiai Sahal adalah tentang fikih sosial-kontekstual. Concern utamanya adalah bagaimana fikih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang terus berubah. Dalam kaitan ini, Kiai Sahal berupaya menggali fikih sosial dari pergulatan nyata antara "kebenaran agama" dan realitas sosial yang senantiasa timpang. Menurutnya, fikih selalu menjumpai konteks dan realitas yang bersifat dinamis.

Kiai Sahal tidak segan-segan meng


Terkait