Rohana Kudus, Jurnalis Bergelar Pahlawan Nasional, Pejuang Kesetaraan Perempuan
Jumat, 10 November 2023 | 14:00 WIB
Rohana Kudus tak pernah lepas dari sejarah pers perempuan di Indonesia. Jurnalis asal Sumatera Barat itu menjadi salah satu peletak pers berperspektif perempuan yang memperjuangkan kesetaraan dalam berbagai tulisannya di awal tahun 1900, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Karir jurnalis Rohana dimulai ketika ia menjadi penulis di surat kabar bernama Poetri Hindia sebelum surat kabar tersebut dibredel oleh pemerintah Belanda. Poetri Hindia merupakan koran pertama yang diperuntukkan bagi kaum perempuan di Indonesia yang terbit pada 1 Juli 1908. Koran ini dibuat oleh perintis pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo.
Ketika dibredel pemerintah Hindia-Belanda, Rohana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Soenting Melajoe, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Rohana hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.
Rohana yang saat itu mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia, yakni sekolah keterampilan untuk perempuan merasa tidak cukup jika perjuangannya hanya melalui sekolah saja. Ia mengutarakan keinginan memperluas perjuangan melalui menulis kepada suaminya Abdul Kudus.
Setelah diskusi Rohana mengirimkan surat kepada pimpinan redaksi Oetoesan Melajoe di Padang dan mengusulkan agar perempuan diberi ruang untuk menulis.
"Keinginanku sebenarnya bukanlah sekadar meminta ruangan kain ibu dalam surat kabar Oetoesan Melajoe yang Bapak pimpin, tetapi kalau boleh ya penerbitan surat kabar yang istimewa untuk kaum perempuan.” Petikan dialog itu dimuat dalam buku Roehana Koeddoes: Perempuan Sumatera Barat (2001) terbitan Yayasan Jurnal Perempuan yang ditulis Fitriyanti.
Keinginan itu disambut baik oleh wartawan senior Maharadja. Tidak hanya diberikan ruang untuk penulis perempuan, Maharadja mendirikan surat kabar khusus perempuan yang diberi nama Soenting Melajoe (dibaca Sunting Melayu) yang diurus oleh Rohana bersama Ratna Juwita Zubaidah, putri dari Maharadja.
Kata "Sunting" dipilih karena berarti perempuan dan "Melayu" mewakili nama wilayah mereka. Singkatnya, surat kabar ini diperuntukkan bagi perempuan di seluruh tanah Melayu. Soenting Melajoe terbit pertama 10 Juli 1912.
Lia Anggia Nasution melalui penelitian studi Analisis Wacana Kritis Perspektif Feminis dalam Konten Koran 'Perempoean Bergerak' di Sumut dan Jurnal Simbolika (1 April 2019) menuliskan media massa di masa itu, termasuk Soenting Melajoe menjadi wadah bagi perempuan untuk menyebarluaskan gagasan kesetaraan gender, menggugat sistem sosial yang berlaku di mana laki-laki telah menguasai dan menghambat kemajuan kaum perempuan.
"Isi pemberitaan dalam koran ini dipengaruhi terhadap situasi di masa itu, di mana pengaruh Politik Etis yang diberlakukan Belanda yang menjajah Indonesia di kala itu juga berdampak pada perempuan. Termasuk terbukanya akses bagi perempuan untuk berhimpun baik dalam organisasi. Kondisi ini membuat media perempuan tidak hanya menggugat budaya patriarki namun juga membangkitkan semangat nasionalisme, membela tanah air dengan mengkritisi kebijakan Belanda terutama dalam hal yang merugikan kaum perempuan," tulisnya.
Jargon Koran yang didirikan Rohana Kudus ini adalah, Soerat Chabar Perempoean di Alam Minangkabau.
Karier Jurnalistik
Tulisan yang dimuat pun sangat beragam. Selain artikel berisi pandangan dan gagasan Rohana untuk menginspirasi perempuan, juga ada ulasan berita terjemahan dari bahasa Belanda dan juga karya sastra yang dibuat Rohana, kemudian artikel sejarah, tulisan para kontributor dan juga puisi.
Sebagai perempuan yang terlahir dari kungkungan adat yang masih kaku, Rohana berpikir terbuka, tidak primordial dan cukup kritis. Dia menyinggung soal sistem matriakat di Minangkabau.
Rohana berpandangan, sistem matriakat secara warisan mungkin baik, tapi dari segi kasih sayang hendaknya tidak boleh ada diskriminasi. Ia juga menolak poligami karena akan merugikan perempuan dan keluarga. Dengan wawasannya yang luas ia juga menulis tentang nasib perempuan di Jawa bahkan di belahan negara lain seperti di India dan negara yang tergolong miskin.
Koran Soenting Melajoe terbit selama sembilan tahun. Masa yang boleh dikatakan lumayan lama untuk mempengaruhi pembaca dan memberikan dampak besar dalam masyarakat, terutama di era kolonial.
Pada tahun 1919, Rohana dan suaminya pindah ke Lubuk Pakam, Sumatera Timur. Ia juga memenuhi permintaan ayahnya untuk mengajar di sekolah cabang Dharma Putra. Tahun 1920, bersamaan dengan kepindahannya ke Medan, Rohana juga mengajar di sekolah Dharma Putra pusat. Dan tahun 1921, menjadi akhir peredaran Sunting Melayu.
Rohana kemudian bekerja sama dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi koran Perempuan Bergerak. Tulisan-tulisan Rohana dalam koran itu kebanyakan berisi ajakan pada kaum perempuan agar tidak tertindas dan mulai memikirkan pendidikan serta meningkatkan keterampilan.
Ia juga mengkritik praktik pergundikan yang dilakukan orang-orang Belanda kepada perempuan Indonesia, perlakuan pekerja yang tidak manusiawi di Perkebunan Deli, dan permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi.
Tiga tahun kemudian ia kembali ke Koto Gadang, tetapi enggan terlibat lagi dengan sekolah KAS yang didirikannya dulu. Ia memilih mengajar di Vereninging Studiesfonds sambil menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan oleh Cinta Melayu, perkumpulan Tionghoa-Melayu di Padang dan redaktur koran Cahaya Sumatera yang juga terbit di Padang.
"Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum perempuan," kata Rohana.
Pada Sabtu, 7 Agustus 1912, lewat artikel berjudul Perhiasan Pakaian Rohana membahas keterampilan perempuan Minangkabau dalam menjahit dan merangkai manik- manik atau hiasan untuk pakaian.
Rohana menyoroti beberapa jenis keahlian tidak diturunkan sempurna dari nenek ke anak cucu mereka. Padahal, menurut Rohana, jika keahlian itu diturunkan dengan baik dan ditekuni, hasilnya bisa mendatangkan keuntungan finansial bagi Perempuan.
"Sayang sekali kepandaian kita itu tidak dimajukan terus dan tidak dihikmatkan supaya kian lama bertambah halus dan bersih perbuatannya sampai boleh menjadi barang perniagaan seperti di bangsa lain," tulis Rohana dalam artikel itu.
Baca Juga
Arti Kepahlawanan Sesungguhnya
Lia juga menuliskan bahwa Rohana Kudus dalam tulisannya edisi September 1920 pernah mengecam perlakuan pemerintah kolonial Belanda yang eksploitatif dan tidak berpihak pada perbaikan masyarakat Indonesia terutama kaum perempuan.
"…dimana kemelaratan dan kesoesahan jang diderita oleh kaoem dan bangsanja Hindia soedah hampir meliwati jang moetinja ditanggoeng sebagai hidoepnja sesoeatoe bangsa jang berada dalam djajahannja (kolonie) jang soeboer dan dapat perlindoengan jang halal dari Radja2 dan pemerintahnja atoe jang berwajib melondoengi mereka sebagai ra’jat jang membajar bea padjak dan belastingnja oentoek pemeliharaan dirihak milik dan keselamatan kehidoepanja."
Dalam penelitiannya, Lia Anggia menyebutkan bahwa organisasi perempuan di masa itu membuka ‘sangkar’ perempuan bangsawan atau perempuan dari golongan atas dan menengah yang biasanya dipingit di dalam rumah. Melalui organisasi perempuan dapat bertemu dengan teman-teman sekaumnya dan mereka akhirnya memperjuangkan emansipasi bersama-sama.
Profil Rohana Kudus
Rohana Kudus, seorang jurnalis perempuan pertama di Indonesia kelahiran Kota Agam, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884. Rohana merupakan putri dari Mohamad Rasjad Maharadja Sutan yang juga seorang jurnalis dan pernah menjabat sebagai kepala jaksa di Pemerintahan Hindia Belanda.
Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga bibi dari penyair Chairil Anwar. Dia juga merupakan sepupu dari KH Agus Salim.
Keluarga Rohana adalah keluarga yang gemar membaca terlebih dari sang ayah. Ayah Rohana sering membawakan buku, majalah dan bahan bacaan lainnya untuk dibawa pulang sehingga Rohana dapat membaca buku-buku tersebut. Bermula dari kegemarannya itu, Rohana kecil mampu mengenal abjad latin, Arab, dan Arab Melayu.
Tepat empat tahun yang lalu, 6 November 2019, Rohana Kudus diumumkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional asal Kabupaten Agam oleh Presiden Joko Widodo. Penetapan perempuan pejuang kelahiran Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, 137 tahun silam itu tertuang dalam Surat Menteri Sosial RI nomor: 23/MS/A/09/2019.