Warta

Alumni IPNU Usulkan Ahlul Halli wal Aqdi untuk Pimpinan NU

Rabu, 27 Januari 2010 | 02:01 WIB

Jakarta, NU Online
Majelis Alumni Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (MA IPNU) melalui forum Rakernas I yang diselenggarakan 31 Januari-1 Februari 2010 akan merumuskan pola baru pemilihan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

"Muncul usulan dari para alumni agar pemilihan ketua tanfidziyah PBNU pada Muktamar di Makassar Maret nanti dilakukan melalui pola ahlul halli wal aqdi atau penunjukan oleh syuriyah," ungkap Sekretaris Jenderal Majelis Alumni IPNU Dr Asrorun Ni'am <>Sholeh usai rapat panitia pengarah Rakernas di Jakarta Selasa (26/1).

Usulan tersebut menurut Niam muncul sebagai hasil dari refleksi atas perjalanan PBNU selama ini. Fungsi dan peran syuriyah perlu dikuatkan sebagai pemegang otoritas tertinggi organisasi.

"NU itu dari namanya saja sudah jelas, sebagai organisasi ulama. Ulamalah yang harus mengambil peran utama perjalanan organisasi," ungkapnya.

Teknis pemilihan dengan pola baru ini, imbuh Niam, tiap-tiap wilayah dan cabang NU nanti akan menetapkan 9 nama. Dari hasil rekap akan dicari 33 nama ulama  yang akan menjadi ahlul halli wal aqdi melalui sistem suara terbanyak.

"Baru setelah itu 33 orang ahlul halli wal 'aqdi yang menjadi anggota Majelis Syuriyyah akan menetapkan ketua pelaksana harian PBNU dengan dibantu wakil-wakil ketua bidang. Jadi pelaksana harian itu hanya menjalankan kebijakan dan garis yang ditetapkan syuriyyah," kata Pengasuh Pesantren Model al-Nahdlah Depok ini.

Lebih lanjut Niam menegaskan bahwa reformasi sistem pemilihan ini sangat mendesak untuk dilakukan sebagai koreksi atas sistem yang berlaku selama ini, yakni dengan sistem voting satu delegasi satu suara.

"Selama ini proses pemilihan hanya mengejar prosedural demokrasi namun luput dari substansi yang dituju. Sistem ini melahirkan tirani kaum kapital yang meneggelamkan kewibawaan Ulama, di mana sang calon harus kasak kusuk memperebutkan suara terbanyak", ujarnya.

Dengan sistem pemilihan secara paket, tambahnya, semangat kebersamaan akan semakin terjaga dan fragmentasi akan terminimalisasi.

Sistem pemilihan langsung, menurut Niam tidak cocok dengan khittah organisasi yang mengedepankan supremasi Ulama. "Nilai yang dikembangkan NU dalam kepemipinan adalah amanah, sehingga nilai yang dominan adalah pengabdian atau khidmah. Prinsip pemilihan langsung dengan pencalonan diri akan kontraproduktif dengan nilai khidmah dalam kepemimpinan NU ini," ujar Niam.

Selanjutnya Niam menjelaskan bahwa pelaksanaan pilkada langsung di berbagai daerah yang melahirkan cukong-cukong politik harus menjadi pelajaran bahwa demokrasi yang hanya mengejar partisipasi prosedural akan berdampak buruk yang bisa jadi akan menjadi arus balik yang membahayakan demokrasi itu sendiri.

"Untuk itu, NU harus menjadi motor pendobrak demokrasi prosedural menuju demokrasi substantif, dengan pendekatan kualitatif, diawali dengan reformasi internal model pemilihan pimpinan yang mengedepankan prinsip kebersamaan," pungkasnya. (mad)


Terkait