Warta

Bagdja: Islah PKB Harus Didasari Untuk Kepentingan Bersama

Jumat, 9 Desember 2005 | 10:51 WIB

Jakarta, NU Online
Bertemunya dua tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang selama ini berseteru, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Saifullah Yusuf mendapat tanggapan yang beragam dari banyak kalangan. Salah satunya adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Drs H Ahmad Bagdja.

Ditemui di kantor PBNU siang tadi, H. Ahmad Bagdja menyambut gembira kabar tersebut. Pertemuan tersebut, ungkap Ahmad Bagdja bisa menjadi indikasi bahwa kedua kubu yang selama ini berseteru bisa bersatu kembali.

<>

Namun demikian, Bagdja masih merasa pesimis atas pertemuan tersebut. Pasalnya, ia belum melihat adanya kesungguhan dari kedua belah pihak untuk bersatu. “Sampai sejauh ini saya belum melihat bertemunya dua orang itu (Muhaimin Iskandar dan Saifullah Yusuf, Red) apa benar untuk kepentingan PKB dan lebih luas lagi untuk kepentingan bangsa,” terangnya.

Ketua Foksika PMII tersebut justru melihat ada unsur lain di balik pertemuan itu. Ia mengatakan bahwa pertikain kedua kubu tersebut sudah begitu parah. Oleh Karenanya untuk menyatukan kembali bukan persoalan yang mudah. Masing-masing punya kepentingan yang berbeda.

Pertemuan tersebut, ungkap sekjen PBNU era Gus Dur tersebut tidak terlepas dari momentum reshuffle kebinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa waktu lalu. Seperti diberitakan media beberapa waktu lalu, menjelang pengumuman kabinet Presiden SBY memanggil Muhaimin Iskandar dan Saifullah Yusuf untuk dimintai pendapat tentang siapa orang dari PKB yang akan mengisi posisi di kabinet.

“Waktu itu kabarnya kan Ipul (panggilan Saifullah Yusuf, Red) akan ditarik dari kabinet. Bisa jadi Ipul takut kehilangan jabatan menterinya. Dan di pihak lain, Imin (panggilan Muhaimin Iskandar, Red) juga punya kepentingan yang orientasinya kekuasaan,” ungkap Ahmad Bagdja.

Jika kepentingan seperti itu yang menjadi alasan, Ahmad Bagdja menilai bahwa persatuan yang diinginkan sulit untuk diwujudkan. Karena selama ini kedua kubu yang berseteru tersebut sudah terlanjur merasa yang paling benar. Selain itu juga, ada pihak-pihak yang selama ini sengaja memelihara konflik tersebut, karena memperoleh keuntungan darinya.

Kepentingan yang sangat pragmatis itu, ungkap Ahmad Bagdja terlalu naïf untuk dilakukan. Ia tidak ingin PKB mengorbankan semuanya demi kepentingan yang hanya bisa dinikmati segelintir orang saja. Baginya, kalau memang PKB benar-benar berjuang untuk bangsa, kepentingan seperti itu pasti tidak akan diperhatikan.
“Kalau untuk kepentingan bangsa, hal itu (kepentingan kekuasaan, Red) kecil artinya. Tapi berbeda kalau itu untuk kepentingan individu, besar sekali artinya. Logikanya mungkin, kapan lagi saya bisa jadi menteri. Kan seperti itu,” terang Ahmad Bagdja.

Ditanya mengenai langkah apa yang harus ditempuh untuk mempersatukan kedua kubu tersebut, Ahmad Bagdja mengungkapkan bahwa semuanya tergantung pada kedua pihak. Artinya, kedua pihak harus menyadari akan kesalahannya, tidak merasa yang paling benar. Selama itu belum terjadi, ia yakin keduanya tidak akan pernah bersatu.

Demikian juga dengan peran ulama atau kiai. Baginya kiai bisa menjembatani kepentingan antara keduanya untuk bersatu. Namun, syarat mutlak yang harus dipenuhi dulu adalah semuanya memang atas dasar untuk kepentingan bersama, tidak untuk kepentingan segelintir elit politik PKB. “Bisa saja meminta kiai untuk menjadi mediator dalam rangka islah. Tapi yang jelas dasarnya harus untuk kepentingan bersama”, tegasnya.(rif)


Terkait