Warta

Bangsa Indonesia Kehilangan Identitas

Senin, 22 Oktober 2007 | 08:23 WIB

Malang, NU Online
Bangsa kita saat ini sedang menghadapi problem besar yaitu anomia, lesu darah karena kehilangan identitas. Hal itu terjadi karena pengaruh sistem pendidikan Belanda, sehingga mengikis seluruh Indentitas masyarakat Nusantara yang dulu ada, melalui pendidikan formal yang berorientasi Eropa. Demikian Agus Sunyoto yang disampaikan kepada NU Online baru-baru ini.

Menurut budayawan yang tinggal di Malang Jawa Timur itu, pada masa lalu bangsa ini memiliki identitas sendiri, mulai dari aksara, angka, bahasa, ukuran, hitungan sampai nama negara semuanya memiliki identitas sendiri. Tetapi begitu sekolah Belanda atau Eropa dibangun sejak zaman politik etis, lambat laun identitas bangsa ini punah.
align="left"> 
Dikatakannya, tulisan dan angka Jawa atau aspek lokal lainnya diganti dengan huruf Latin. Begitu pula ukuran, panjang, lebar, berat semuanya tidak memakai ukuran sendiri, sehingga generasi saat ini tidak mengenal angka, huruf dan ukuran sendiri. Lebih celaka lagi, nama bangsa dan negara ini juga mengambil nama Eropa yakni Indonesia, buka nama yang diberikan bangsa sendiri yakni Nusantara, Dipantara atau Desantara.

Hampir semua pendidikan sekolah hingga saat ini mengadopsi sistem Eropa, hanya pendidikan pesantren yang bertahan pada tradisi pendidikan sendiri, disamping mengutamakan pendidikan spiritual dan moral, juga menggunakan sarana sendiri, bahasa yang digunakan disamping Arab adalah Jawa atau bahasa Nusantara lainnya, huruf yang dipakai juga dengan huruf pego. Arah dan tujuan serta sarana pendidikan juga berbeda, karena itu pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang mampu membela dan menegakkan identitas bangsa ini.

Mengingat kenyataan itu penulis serial novel Siti Jenar itu mendorong dibangkitkan kembali pendidikan asli pesantren dengan sistem pendidikan yang asli dengan sistem sorogan dan bandongan dan segala perangkat pendukungnya. Hanya sistem itu yang terbukti mampu melahirkan ulama besar, sementara pendidikan modern tidak mampu melahirkan ulama besar atau rohaniawan agung.

Budayawan yang ahli sejarah Nusantara itu juga mengecam keras sikap para pemikir muda NU yang justeru meremehkan tradisi, padahal tradisi itulah identitas kita. Sementara mereka menolak tradisi tetapi mengekor ke Barat yang dikira baik dan bersahabat. Padahal mereka menurut Agus Sunyoto adalah kolonial, dengan cara itu bangsa ini semakin kehilangan identitas. Sementara bangsa yang lain seperti Jepang, Cina, India, Thailand, begitu menghargai tradisi dan sangat kuat menegaskan identitas. Karena itu mereka percaya diri dan dihormati bangsa lain.

Mantan ketua pemuda Ansor jawa Timur itu juga menyayangkan para kader NU selama ini terlalu banyak menjalankan proyek imperialis, dengan menjalankan program anti kemiskinan, anti berbagai penyakit, pemanasan global, padahal isu itu tema mereka untuk menambah kesibukan kita agar terlupa dengan agenda nasional, memperkuat identitas bangsa, dan mengembangkan nilai-nilai tradisi.

Program paling mengecoh menurut Agus adalah gerakan penyebaran paham pluralisme. Ini adalah sikap NU dan pesantren pada umumnya, tetapi kelompok imperialis tiba-tiba mengenalkan isu itu seolah kita tidak mengenal isu itu. Tetapi para aktivis NU dengan naifnya menjalankan isu itu, padahal maksudnya hanya untuk mencampur antara kelompok penjajah dengan terjajah, penghisap dengan terhisap, akhirnya habislah seluruh kekayaan kita dihisap oleh kaum kapitalis kolonialis yang kita biarkan hidup tenang di sekitar kita.

Selanjutnya Agus Berharap kenyataan ini menyadarkan warga NU dan terutama kelompok mudanya yang liberal dan westernis bahwa sebenarnya mereka terkecoh, dan tanpa sadara menghilangkan identitas diri sebagai bangsa, sehingga tidak mampu berpikir dan tidak bisa berkreasi. Di situlah paradigma pesantren dan keulamaan perlu ditegaskan kembali sebagai sarana penegakan identitas nasional. (mdz)


Terkait