Warta

Cak Nun: Membela Petani Yang Tertindas Mesti Komprehensif

Senin, 12 Desember 2005 | 03:06 WIB

Bogor, NU Online
Untuk dapat membela petani yang hingga kini masih termarjinalkan, Emha "Cak Nun" Ainun Nadjib, budayawan dari Yogyakarta menyarankan agar dilakukan dengan ikhtiar-ikhtiar yang komprehensif.

"Sebenarnya harus komprehensif, serentak, jadi ’top down’ sekaligus ’bottom-up’. Harus ada satu kepemimpinan yang kuat yang memahami peta global dan kemudian mereka punya ’political will’ dan daya juang serta mau berkorban mengabdikan dirinya kepada pembelaan atas negerinya, tanahnya, rakyatnya," katanya menjawab pertanyaan wartawan usai menjadi pembicara pada Seminar Nasional bertema "Pembelaan Negara Terhadap Petani/Nelayan" di Gedung Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang, Kota Bogor, (10/12).

<>

Kepada Cak Nun, dimintakan tanggapannya bagaimana cara efektif untuk membela ketertindasan petani dari posisi yang masih termarjinalkan menjadi lebih baik.

Ia mengatakan, upaya yang sifatnya serempak dimaksud, karena dalam diskusi tersepakati bahwa apa yang dialami petani itu hanyalah "simtomp" saja. "Dia cuma (seperti penyakit) kudis dari berputarnya bakteri-bakteri dan seterusnya. Jadi ketertindasan (sebenarnya) tidak hanya dialami petani, tetapi juga dialami seniman, ulama, santri, pelajar, mahasiswa, semuanya dengan pola ketertindasan masing-masing," katanya.

"Mungkin mahasiswa merasa tidak tertindas, tapi sebenarnya dia sedang diperbudak oleh pola berpikir global yang memang dirasukkan ke alam pikiran mereka, dan itu bisa di bidang pemikiran, teologi, pangan, pertanian, politik, policy-policy, bahkan teritorial," tambahnya.

Cak Nun sepakat ada pola-pola yang sifatnya "shortcut" seperti disampaikan oleh Ketua Komisi VI DPR-RI, Didiek J Rachbini, yang memberi komentar dalam sesi diskusi, seperti perlunya ada sinergi baik di legislatif dan eksekutif, untuk menekan kebijakan yang merugikan petani.

"Jadi menurut saya bisa ada ’shortcut’ seperti yang diusulkan Pak Didik Rachbini tadi, itu bagus, tapi itu kan (tetap) ’shorcut’. Sebenarnya (tetap) harus komprehensif dan serentak, ’top down’ sekaligus ’bottom-up’," katanya.

"Dan itu, ditambah (seorang pemimpin) yang bisa menyadarkan rakyatnya, membangkitkan dan ’mbelain’ yang benar, maka akan tumbuh juga pembelaan dari bawah," katanya.

Ia mengatakan, kalau saat ini ada ikhtiar dari perorangan atau kelompok yang membela petani, namun para petani sendiri belum tentu juga membela dirinya sendiri.

Penyebabnya, pertama: karena petani belum tentu mengerti masalahnya, dan kedua: karena diantara mereka sendiri tidak kompak. "(Kondisi itu) sebagaiamana kita bisa diadudomba, ke samping kita dapat keuntungan, (namun) teman kita sengasara tidak apa-apa kan gitu," katanya.

Ketidak-komprehensifan

Sementara itu, menjawab pertanyaan adanya kondisi kontras, yakni pada saat di Istana Negara sedang ada kegiatan penghargaan ketahanan pangan, namun hampir bersamaan masuk informasi mengenai sekurangnya 55 warga yang meninggal di Kabupaten Yahokimo, Propinsi Papua akibat kelaparan, ia melihat ada ketidak-komprehensifan berfikir.

"Lha iya, karena tidak berfikir komprehensif dan menyeluruh karena berangkatnya juga tidak dari antisipasi terhadap apa yang kita sebut ’global design’," katanya.

Menurut dia, mestinya kalau jadi pemimpin segera mengumpulkan semua menteri dan semua pakar untuk memastikan "mapping"-nya, sehingga setiap kebijakan itu ada relevansinya antara lini satu dengan lini yang lain.

"Malu dong kalau saya memuji-muji betapa sehatnya tangan saya sementara kaki saya pincang, kan gitu, nah harus ada dialektika. Untuk itulah gunanya presiden, yakni menjadi kapten kesebelasan supaya antara ’back’, gelandang, striker, kiper dan semua lini itu bekerjasama secara satu tubuh kan," katanya.

Dikemukakannya bahwa saat ini pertanian bukan subyek utama, dan pertanian hanyalah salah satu sasaran penjajahan, karena memang ada sasaran penjajahan yang lain, misalnya dunia pasar yang lain, dunia pangan yang lain, dunia keagamaan, media massa.

"Itu semua kan juga sasaran penjajahan, jadi kalau kita ngomong apakah jika saya lulusan IPB kemudian saya memimpin sesuatu maka saya akan otomatis akan melakukan pembelaan pada petani? Wong.. urusan pertanian hanya merupakan salah satu bagian dari komprehensi global tadi," katanya.

"Jadi, sekarang ini tidak bisa (lagi) seorang pertanian sendirian saja. Dia harus memahami politik, peta global dan memahami semuanya, demikian juga orang di bidang agama, pendidikan harus ngerti pertanian, politik, sudah nggak bisa lagi berpikir departemental karena itu tidak cukup lagi," kata Cak Nun.(ant/mkf)


Terkait