Warta

Dalang Ki Entus : Integrasikan Kembali Wayang dengan Tradisi Islam

Senin, 16 Januari 2006 | 14:13 WIB

Jakarta, NU Online
Selama ini apresiasi kalangan santri terhadap wayang masih belum terlalu baik, sehingga wayang menjadi pertunjukan yang sekedar menjadi tontonan, bukan sebagai tuntunan, karena dimensi hiburan lebih menonjol ketimbang dorongan untuk memberikan tuntunan.Walaupun klaim bahwa kesenian itu warisan Walisongo, tetapi kalangan santri belum memanfaatkan secara maksimal sebagai media dakwah. Hal itu terjadi menurut dalang Ki Entus Susmono karena pihak dalang sendiri tidak hanya jauh dari para ulama, tetapi juga jauh dari agama dan dengan dunia pesantren.

Dalam paparannya dalam diskusi terbatas tentang kebudayaan di NU Online pada akhir pekan ini Ki Entus berharap upayanya untuk mengembalikan fungsi wayang sebagai sarana pendidikan dan dakwah sebagaimana yang dilakukan Walisongo ini mendapat dukungan dari NU. Dalam arti NU turut aktif mengembangkannya. Kalau NU sudah mendorong gerakan ini, tentu banyak dalang yang ikut dan akhirnya masyarakat juga apresiatif terhadap wayang, baik sebagai sarana pendidikan dan dakwa, maupun sebagai  karya seni maupun sebagai cerita.

<>

Ketika ditanya soal langkah yang ditempuh dalam melakukan aktualisasi wayang itu Ki Entus yang tampil eksentrik itu merasa bahwa gurunya adalah para kiai di pesantren, antara lain Kiai Anis Fuad Hasyim dari Cirebon yang tidak lain adalah salah seorang Mustasyar PBNU. Dalam kaitan ini seorang dalam muslim tidak hanya dituntut menguasai dunia pewayangan, tetapi juga dituntut menguasai ajaran agama secara mendalam. Walaupun kuat dalam memegang prinsip agama, tetapi dalam dunia kesenian tidak pantas untuk menggurui. Dalam melakukan Islamisasi, maka yang perlu diislamkan terlebih dulu bukan obyeknya, tetapi subyeknya yakni senimannya, dengan demikian sikap dan pandangannya juga akan Islami, ketika ruhnya telah beriman.

Maka di sini seni Islam dinilai dari tujuan akhirnya bukan titik tolaknya, maka di sini kebebasan berkreasi alam kesenian sebenarnya cukup luas. Tetapi ini semua tergantung kreativitas senimannya. Ia mencontohkan, bahwa selama ini para dalang konvensional terlalu terikat pada pakem atau system standarisasi, padahal tidak sedikit standarisasi yang bersifat kolonial, sebagaimana telah disiapkan Belanda, sehingga wayang menjadi sangat sekular dan makin dijauhi kelompok agama. Karena itu dalam setiap melakukan  eksperiman Entus selalu mengkonsultasikan kegiatannya dengan para ulama pesantren untuk memperoleh kesempurnaan.

Pakem sejauh menyangkut soal substansi pewayangan tidak perlu diubah, “seperti yang saya lakukan” menurut pengakuan Ki Entus “walaupun saya disebut liar, tetapi susbstansi tetatap saya pertahankan, tetapi dramaturginya banyak saya ubah”. Belum lagi para dalang sering hanya memerankan diri sebagai seorang seniman professional yang tidak peduli terhadap lingkungan sosialnya.

Untuk mengembalikana fungsi wayang sebagai sarana pendidikan dan dakwah itu menurut Ki Entus harus dilakukan penataan secara menyeluruh, mulai dari dalang, penanggap dan juga pemirsa. Para dalang harus melengkapi diri dengan ilmu yang lebih mendalam baik bidang pedalangan dan ilmu agama termasuk ilmu kemasyarakatan. Kedua penanggap juga harus di sadarkan bahwa pertunjukan wayang merupakan sebuah proses pencerahan spiritual, karena itu sang penanggap juga harus tahu fungsi tersebut.

Langkah yanag dilakukan Entus dalam hal ini adalah melakukan dialog langsung dengan calon penanggap, lakon apa yang diinginkan, lalu dalang memberikan uraian singkat lakon tersebut dan makna pertunjukan lakon tersebut bagi masyarakat. Sehingga seorang dalang dengan niat yang benar bisa menjadikan pertunjukannya sebagai amal ibadah, bukan sebagai ajang maksiat seperti yang ada selama ini. Komunikasi dalang dengan penanggap hendaklah berlangsung sangat intensif, karena itu tidak diperlukan manajer, sebab hanya akan menghalangi komunikasi langsung untuk mentrasfer pengetahuan dan di situ silaturrahmi terjadi.

Demikian juga para pemirsa juga mesti disadarkan, bahwa nonton wayang sebagai upaya mencari kaweruh, pengetahuan spiritual, melalui alur cerita yang dipertunjukkan. Maka dalang diperlukan pendalaman spiritual, terhadap lakon yang ditampilkan baik secara agama dan budaya. Mereka mesti sadar bahwa pertunjukan itu tidak sekadar tontonan tetapi bisa menjadi tuntunan. Sehingga ketika mereka pulang mendapatkan pengetahuan dan peneguhan spiritual.

Dalam dakwah yang dilakukan wali dan yang kemudian diteruskan oleh NU, menurut Entus lebih mengutamakan bentuk spiritual atau substansinya, ketimbang ritualnya. Karena model dakwah ini bersifat jangka panjang dan berproses, sesuai dengan tingkat kedewasan dan kecerdasan masyarakat, bukan hanya kedewasaan individu. Hanya saja cara ini sering dianggap bidah karena mentoleris sinkretisme. Hal itu tidak apa apa yang penting dalam bergama itu hatinya, kalau hatinya sudah kena, sudah dzikir berarti dakwah sudah mengena. Karena ini prosesnya panajang, maka keagamaannya menjadi mendalam dan santun. Dakwahnya tidak kejar tayang, tetapi benar-benar penanaman nilai sepanajang waktu.

Dalam akhir diskusi itu Ki Entus menyarankan agar pihak PBNU segera mempersi


Terkait