Warta

Dinilai Hanya Akal-akalan Bulog

Senin, 19 September 2005 | 03:07 WIB

Jakarta, NU Online
Sejumlah organisasi petani nasional menolak keputusan pemerintah yang mengizinkan Perum Bulog mengimpor beras sebesar 250.000 ton tahun ini. Bahkan Bulog diminta mengurungkan niatnya mengimpor beras mengingat saat ini produksi beras nasional masih mengalami surplus 1,6 juta ton.

Kalangan organisasi petani itu menduga izin impor beras tersebut merupakan akal-akalan Bulog untuk memenuhi kontrak dengan produsen luar negeri yang memang lebih menguntungkan, daripada membeli beras dari petani lokal yang harganya saat ini cenderung meningkat.

<>

Demikian diungkapkan Ketua Wahana Masyarakat Petani Indonesia (Wamti) Agusdin P dan Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) AB Pulungan seperti dikutip Suara Karya, di Jakarta.

Agusdin menyatakan, sebenarnya saat ini Bulog masih terikat kontrak untuk membeli beras produksi petani sedikitnya 50 juta ton per tahun dengan harga yang disesuaikan dengan kondisi pasar. Dengan merosotnya nilai rupiah harga beras domestik memang mengalami peningkatan. Selain itu masalah distribusi dan perdagangan beras yang banyak melibatkan banyak pemain selain Bulog, juga menjadi faktor pendorong naiknya harga beras di tingkat petani.

"Kalau harga beras di petani naik, Bulog akan kesulitan untuk membelinya. Makanya Bulog mengakali dengan impor sehingga mengganggu harga beras di tingkat petani agar dapat kembali ke tingkat semula. Ini akal-akalan Bulog saja," kata Agusdin.

Menurut dia, meningkatnya harga beras di tingkat petani dikarenakan kenaikan biaya produksi karena faktor kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bibit, dan pupuk. "Impor beras tidak bisa memengaruhi harga beras di pasaran, apalagi sampai memainkan atau menurunkan harga di tingkat petani," tuturnya.

Hal senada juga dikemukakan pula oleh Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), AB Pulungan. Ia mengatakan, harga beras impor sebenarnya lebih mahal dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh petani domestik. Dengan melakukan impor, pemerintah Indonesia berarti lebih mementingkan dan telah memberikan keuntungan kepada petani di luar negeri.

"Seharusnya pemerintah mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan impor beras. Jadi, bila memang harga yang harus dibayarkan ke petani domestik lebih tinggi, memanfaatnya kan dinikmati petani yang bukan lain warga negara Indonesia," kata Pulungan.

Menurut dia, rencana Bulog ini jelas makin menyulitkan posisi petani domestik yang seharusnya dilindungi dan diproteksi, apalagi sehubungan dengan mulai meningkatnya biaya produksi. "Kalau rencana impor ini dilakukan, jelas akan memperparah kondisi perberasan nasional dan belum tentu harga akan turun. Kalau sudah demikian, pemerintah juga yang akan kesulitan pada akhirnya," ucapnya.

Harga

Lebih jauh Agusdin mengatakan, untuk melakukan impor beras, pemerintah atau Bulog harus mengeluarkan biaya hingga sampai ke Indonesia (landing cost) sebesar 280 dolar AS per ton. Ini belum termasuk biaya penanganan (handling cost), biaya distribusi (carrier cost), dan biaya gudang. Dengan sejumlah biaya tersebut, maka harga beras impor hingga ke konsumen tidak kurang dari Rp 3.700 per kilogram.

Menurut Agusdin, untuk saat ini harga patokan petani (HPP) sebesar Rp 1.800 per kilogram dan harga gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 1.250 per kilogram. "Harga ini akan naik lagi kalau BBM jadi naik dengan sejumlah kenaikan harga lainnya. Lalu kalau pemerintah atau Bulog mau impor untuk menurunkan harga, logikanya di mana?," katanya.

Sebelumnya, pemerintah memberikan izin kepada Bulog untuk melakukan impor sedikitnya 250.000 ton beras untuk tahun ini. Impor bertujuan untuk memenuhi konsumsi domestik yang diperkirakan meningkat menjelang bulan Ramadan, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.

Stok beras pemerintah saat ini sebesar 350.000 ton dan stok Bulog sebesar 1,6 juta ton. Untuk periode 2005-2010 diperkirakan permintaan beras di dalam negeri akan meningkat dari 52,3 juta ton menjadi 55,8 juta ton. Sementara itu, pada tahun 2006 diperkirakan produksi beras petani diperkirakan mencapai 54,5 juta ton dan permintaan untuk tahun depan diperkirakan mencapai 53,4 juta ton.

"Melalui data tersebut terungkap bahwa selama periode 2005-2010 pemerintah masih memiliki stok beras yang cukup banyak. Dengan kata lain produksi nasional masih surplus kok," ujar Agusdin. (SK/cih)


Terkait