Warta

Empat Kelompok untuk Perkuat Syuriyah

Ahad, 31 Januari 2010 | 11:30 WIB

Jakarta, NU Online
Syuriyah NU berdasarkan aturan organisasi merupakan lembaga tertinggi di PBNU, tetapi sejauh ini, peran yang dilakukannya belum maksimal. Dalam muktamar ke-32 NU mendatang lembaga ini harus benar-benar menjalankan fungsinya dengan mengisi kepengurusannya orang-orang yang mendukung peran yang dilakukannya.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menjelaskan, untuk memperkuat jajaran syuriyah, terdapat empat kelompok yang bisa dapat masuk dalam kepengurusan ini, yaitu ahli syariah, ahli hukum, ahli riyadhoh dan kelompok al wa’du wal irsyad atau golongan yang memfokuskan diri pada pendidikan pesantren dan lainnya<>.

Paparan ini disampaikan ketika membuka rakernas Majelis Alumni IPNU yang berlangsung di Jakarta, Ahad (31/1).

Dikatakannya, sebagian besar organisasi keulaman di dunia dipimpin dan dikendalikan oleh dewan syuro, yang dalam istilah NU disebut dewan syuriyah. Mereka memberi arahan dan kebijakan yang nantinya harus dilaksanakan oleh pengurus tanfidziyah atau eksekutifnya. Jika NU ingin kuat, model organisasi seperti ini juga harus diberlakukan di NU.

“Mengapa disebut majelis syuro, karena keputusannya merupakan ijtihad jama’i (ijtihad berjamaah), bukan mufti yang memiliki hak perogratif,” katanya.

Para ahli syariat merupakan kelompok yang lulus dari fakultas syariah dan memahami betul urusan syariat Islam. Mereka diharapakan mampu menanamkan nilai-nilai keislaman ahlusunnah wal jamaah ala NU mengingat besarnya tantangan yang dihadapi, terutama bagi generasi muda.

“Kelompok ini yang akan melahirkan fatwa dalam bahtsul masail, jika syuriyah tidak tahu syariah ikut bahtsul masail, maka akan menjadi masail (masalah) sendiri,” katanya.

NU saat ini menghadapi tantangan ideologis dengan masuknya berbagai kelompok baru yang berusaha merebut hati warga NU. Dari kelompok ekstrim Islam, mereka beranggapan bahwa NU kurang syariat sementara dari kelompok kiri, mereka berusaha melakukan liberalisasi dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan hanya orang lain, banyak anak-anak NU yang melakukan upaya deideologisasi dari dalam. NU sebagai kelompok moderat harus menjaga keseimbangan ini dalam koridor keindonesiaan.

Berkembangnya dunia modern yang telah melahirkan berbagai perkembangan budaya, juga telah menyebabkan banyak hal tidak jelas mana yang halal dan mana yang haram sebagaimana ditampilkan oleh media yang dinilainya telah melakukan deislamisasi melalui budaya. Tantangan seperti ini juga harus menjadi perhatian syuriyah NU.

Selanjutnya kelompok kedua, atau ahli hukum kenegaraan diperlukan agar mereka mampu memberikan masukan atas kebijakan PBNU dalam mensikapi persoalan kenegaraan dan kebangsaan. Jika PBNU tidak mampu melahirkan keputusan-keputusan yang bijaksana, maka akan dipertanyakan atau suaranya tidak didengar.

“Keputusan yang disampaikan tidak hanya benar, tetapi harus tepat waktu dan keadaan,” tandasnya.
 
Kelompok ketiga, menurut Hasyim adalah ahli riyadhoh atau ahli tirakat, yaitu orang-orang yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk Allah sehingga mereka memiliki kedekatan dan doa-doanya dikabulkan. Saat ini, kelompok ini semakin langka.

Dijelaskannya, pada masa lalu, ulama-ulama ini selalu mengingatkan kepada warga NU untuk mempersiapkan diri jika terjadi suatu bencana besar yang akan menimpa. Hal ini terbukti pada tahun 1963-64, yang mana para pemuda Ansor digembleng oleh para kiai dengan hizib nasr dan diajari olah baris-berbaris kemiliteran sehingga saat pecah peristiwa PKI tahun 1965, NU siap menghadapinya.

“Sekarang, sudah ludes kita sendiri belum sadar,” katanya.

Golongan keempat adalah al wa’du wal irsyad atau para pendidik dan pelaku pengembangan pesantren yang mendedikasikan dirinya untuk mencetak generasi Islami di masa mendatang.

Sementara itu, kekatiban atau kesekretariatan syuriyah harus diisi oleh orang-orang yang bukan hanya ahli agama, tetapi juga memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan umum sehingga mampu mengkoordinasikan seluruh potensi yang ada dalam jajaran kepengurusan syuriyah.

Sementara itu, a’wan atau pembantu dalam struktur syuriyah PBNU dibagi menjadi dua kelompok, yaitu para ulama dan dewan pakar yang terdiri dari berbagai ahli dalam bidang kesehatan, politik, psikologi, teknik dan lainnya.

“Ulama sekarang tidak bisa menentukan masalah mualamah sendirian, tetapi harus melibatkan para pakar dibidangnya sehingga keputusannya kolegial,” katanya.

Jika empat persyaratan ini terpenuhi, Hasyim yakin jajaran syuriyah akan mampu mengontrol tanfidziyah yang akan diperankan untuk mengurusi hal-hal teknis yang memiliki kemampuan manajerial yang sistemik. Kharisma saja menurutnya tidak cukup dan harus disertai dengan kemampuan mengelola seluruh potensi yang ada itu.

“Para ahli pidato biar saja nglumpuk (berkumpul) di syuriyah,” tandasnya.

Jika syuriyah dan tanfidziyah sama-sama diisi oleh para ahli agama, maka akan terjadi kontestasi yang tidak produktif. “Nanti akan ada kontes dalil, belum lagi kalau dalilnya tidak sama,” katanya dengan canda.

NU saat ini telah berkembang pesat dengan memiliki aset dalam berbagai bidang, para kadernya juga tersebat dalam berbagai posisi strategis. Keberadaannya saat ini juga semakin diakui dunia internasional. Karena itu, ia berharap figur penggantinya benar-benar memiliki kemampuan managerial yang baik untuk mengelola semua potensi tersebut. (mkf)


Terkait