Warta

Hasyim Kembali Suarakan Penggantinya yang Manajer

Sabtu, 13 Februari 2010 | 11:07 WIB

Palu, NU Online
Ketua umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyampaikan keinginan agar penggantinya adalah sosok pemimpin manejerial atau yang bisa menata organisasi NU sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan saat ini.

Hal ini disampaikan saat memberi pengaragan pada acara pramuktamar dan pembukaan dialog nasional kebangsaan yang digelar PWNU Sulteng di Palu Golden Hotel, Juma’t malam (12/2) yang dihadiri oleh para ulama dan kaum nahdliyin yang datang dari berbagai daerah seperti Maluku, Maluku Utara dan Papua.<>

Menurutnya, kendala NU sebagai sebuah organisasi perlu dibahas dalam muktamar NU di Makassar nanti. ‘’Pengaturan organisasi NU masih menjadi kendala. Karena itu saya berharap pengganti saya adalah tipe pemimpin yang bisa menata organisasi NU,’’ kata Hasyim Muzadi seperti dikutip Radar Sulteng.

Pada acara itu keenam kandidat ketua PBNU memang hadir. Mereka adalah KH Said Aqil Siraj, KH Masdar Farid Mas’udi, KH Salahuddin Wahid, KH Achmad Bagdja, KH Andi Jamaro, dan KH Slamet Efendi Yusuf. Di antara kandidat, baru Solahuddin Wahid yang terang-terang menyatakan siap memimpin PBNU.

Dalam pengarahannya, Hasyim Muzadi mengatakan kepemimpinan merupakan salah satu dari tiga kriteria seorang ulama. Dua kriteria lain adalah ilmu dan amaliah, serta konsistensi, istiqomah dan keteguhan dalam keulamaan.

Kondisi sekarang konsistensi itu mulai luntur sehingga rontoklah pilar ilmu. ‘’NU harus mengikis masalah-masalah ini,’’ katanya.

Dia juga menyinggung soal NU dan hubungannya dengan kebangsaan. Dikatakan, dalam kebangsaan terdapat masyarakat dan negara. Dalam hubungannya dengan kebangsaan NU menjalankan ajaran Islam kepada masyarakat, bukan kepada institusi negara.

Masalah penegakan hukum juga disinggung mantan calon presiden itu. Dia menilai saat ini banyak ahli-ahli hukum yang mempermainkan aturan-aturan hukum yang ada.

Sementara itu, Ketua PWNU Sulteng Drs H Mochsen Alydrus MM mengatakan, dialog nasional kebangsaan dengan tema Perspektif Kebangsaan NU Mengokohkan Tradisi dan Demokrasi Yang Bermartabat, menjadi ajang bagi warga NU untuk merumuskan solusi atas berbagai problem keagamaan dan kebangsaan saat ini.

‘’Melalui dialog kebangsaan ini, NU akan merumuskan kembali fikrah nahdliyyah, yakni suatu landasan berpikir bagi warga NU. Lebih dari itu kita harapkan agar fikrah nahdliyyah ini tidak hanya menjadi fikrah warga NU, tetapi menjadi fikrah wathaniyyah yaitu fikrah kebangsaan dan keindonesiaan,’’ kata Mochsen.

Lebih luas lagi, kata Mochsen, fikrah nahdliyyah ini menjadi fikrah alamiyah yaitu fikrah global. ‘’Kita meyakini hal itu karena fikrah nahdliyyah adalah fikrah moderat, toleran, reformis, dinamis dan metodologis,’’ jelas mantan pejabat Kanwil Depag Sulteng itu.

Kata Mochsen sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia NU memiliki peran yang srategis dalam membangun civil society melalui peran kultural dan politik. Saat ini, katanya, kedua peran itu perlu ‘’dikawinkan’’ dalam rangka pribumisasi nilai-nilai Islam. (mad)


Terkait