Jihad yang dimaksud oleh pemimpin besar Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang kemudian memicu peristiwa Hari Pahlawan 10 November adalah berbeda dengan jihad yang digelontorkan kelompok muslim garis keras seperti Amrozi Cs.
“Jihad dalam pengertian fisik militer harus diletakkan dalam sistem kemasyarakatan yang lebih luas,” kata Ketua PBNU Fajrul Falakh, di Surabaya, Ahad (9/10), di sela seminar "Jihad dan Kepahlawanan: Refleksi Resolusi Jihad dan Hari Pahlawan".<>
Menurut Fajrul, jihad versi NU yang digelorakan Mbah Hasyim melalui Resolusi Jihad dan ditegaskan kembali dalam Muktamar NU Tahun 1946 adalah resolusi sikap NU terhadap pemerintahan yang telah disepakati. Resolusi Jihad NU adalah upaya mempertahankan kedaulatan negara.
“Jihad dalam NU tidak hanya terkait dengan kepentingan satu kelompok saja, tetapi juga terkait kepentingan sekelompok masyarakat lainnya yang lebih luas lagi,” katanya.
Lebih dari itu, pakar hukum Universitas Gajah Mada ini mengingatkan, ajaran tentang jihad tidak hanya terkait persoalan fisik dan militer. Sementara ini pandangan umumnya masyarakat tentang jihad memang hanya terpaku pada peperangan dan kekerasan bersenjata.
Jihad dalam versi lainnya yang lebih realistis saat ini adalah jihad kemanusiaan dengan menghormati hak-hak orang lain, dan berjuang menegakkan keadilan sosial.
“Jihad bukan hanya persoalan fisik seperti ditunjukkan oleh sekelompok orang Islam saat ini. Mengajar, berdakwah dengan sungguh-sungguh, bahkan ibu yang sedang melahirkan itu pun jihad. Bahkan Nabi Muhammad dalam hadist yang sangat populer telah mengingatkan adanya jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu kita sendiri,” katanya. (nam)