Warta

Jubah Hitam dan Miss Jinjing di Sekitar Nabawi

Selasa, 12 Oktober 2010 | 15:24 WIB

Madinah, NU Online
Belanja seringkali menjadi kata pertama yang identik dengan perjalanan/touring/travelling dan pariwisata, termasuk pariwisata religius/ziarah. Belanja dengan berbagai kroniknya menjadi prioritas pembahasan bagi setiap orang yang akan bepergian atau melancong. Terutama bagi kaum hawa, tak perduli latarbelakang sosial, asal daerah maupun ideologi politik dan keagamaan. Belanja telah menjadi satu tarikan nafas dalam setiap langkah para pelancong/peziarah.

Dari sini, tempat-tempat pelancongan berkembang menjadi kawasan perbelanjaan yang terus berbenah dan berlomba memanjakan pengunjung. Dalam hal ini, tak terkecuali adalah kawasan Masjid Nabawi. Hotel-hotel mewah yang mengapit seluruh sisi Masjid Nabawi, selain menyediakan penginapan super mewah juga menawarkan wisata belanja yang memanjakan pengunjung.
;
Dibangun dengan konsep ramah pejalan kaki, kawasan Masjid Nabawi berkembang menjadi area yang sangat memanjakan pengunjung. Meski dikelilingi hotel-hotem mewah, jangan pernah Anda membayangkan akan menemukan suasana yang kaku seperti ketika memasuki hotel-hotel mewah Jakarta. Di Madinah, gedung-gedung perhotelan tidak dibatasi oleh pagar-pagar yang angker dan pemeriksaan yang menegangkan. Tidak perlu melakukan cek dan parkir mobil secara ribet, dan mereka yang berjalan kaki akan mendapatkan perlakuan kelas dua.

Hotel-hotel di seputar Masjid Nabawi Madinah terbuka untuk siapa saja dan tidak menyediakan kawasan parkir. Karena mobil-mobil sudah diparkir di jauh di jalan, para pengunjung tidak lagi dapat dibedakan berdasarkan kendaraan yang dinaikinya, Sehingga semua pengunjung akan diperlakukan secara sama.

Semua pengunjung berbaur dalam satu persamaan, berburu belanjaan. Dengan demikian, pengunjung tidak perlu merasa minder atau takut dipandang sebelah mata oleh para karyawan gedung-gedung perbelanjaan. Hanya anda sendiri yang tahu secara pasti, berapa Riyal uang di dompet Anda. Anda akan diperlakukan dengan hormat oleh para pedagang, baik pedagang asal Bangladesh, Turki, Yaman maupun pedagang lokal Saudi.

Nah di dalam hotel-hotel tersebutlah, terdapat banyak los-los pertokoan yang menyediakan bermacam-macam kebutuhan, terutama perhiasan. Mulai dari interior ruangan, peralatan komunikasi selluler (ittisholaat/jawwalah), perhiasan dari emas dan perak, hingga beraneka ragam baju, dan aksesoris rumah tangga lainnya.

Bahkan jika Anda membayangkan bahwa jubah hitam yang dikenakan oleh perempuan-perempuan Saudi, lengkap dengan cadarnya adalah bukan perhiasan, maka Anda telah salah besar. Jika kita membayangkan jubah-jubah hitam perempuan Saudi yang seringkali sebagai kekolotan dan fanatisme, kenyataannya tidaklah demikian.

Jubah-jubah hitam perempuan Arab Saudi, selain memenuhi fungsi pokok pakaian sebagai penutup aurat juga tetap menyertakan fungsi lain dari sepotong pakaian, yakni perhiasan. Jubah-jubah hitam itu ternyata tidak benar-benar hitam legam. Jubah-jubah itu berhias payet berkilauan dan bertaburkan warna-warna kristal yang tersusun dalam berbagai kombinasi pola-pola cantik. Pola-pola yang indah ini akan semakin nampak jelas ketika kita melihatnya masih tercantel di hanger/gantungan.

Bila kita mengamatinya lebih dekat, maka akan dapat kita rasakan bahwa pakaian-pakaian hitam ini didesain dengan  baik dan tetap memenuhi estetika. Pakaian-pakaian ini tidak benar-benar di desain secara kaku. Pakaian-pakaian ini masih bisa dinikmati keindahannya, bahkan oleh para pemakainya. Ketika lebih cermat mengamati, kita menjadi tahu bahwa setiap waktu pemakaianya dapat bermanja-manja menimang tiap butir kilau manik-manik yang membuat pola-pola tertentu.

Kemudian bila kita kita mengkombinasikan ingatan kita tentang suasana seputar Masjid Nabawi Madinah, lalu-lalang perempuan-perempuan berjubah hitam lengkap dengan cadarnya dan keramaian pusat-pusat perbelanjaan di dalam gedung-gedung hotel, maka insyaflah kita. Bahwa sesungguhnya, tubuh-tubuh berbalut kain hitam rapat hingga hanya kelihatan lobang matanya ini, juga selalu tampak lalu-lalang dengan menjinjing tas belanja di pusat-pusat belanja tersebut.

Artinya, baju hitam bukanlah bukanlah halangan bagi perempuan-perempuan saudi untuk berhias. JUbah-jubah hitam tidak serta-merta meredam nafsu belanja perempuan-perempuan Arab Saudi. Mereka tetaplah perempuan yang sama, yang suka berhias, memakai perhiasan dan gemar memborong barang-barang di pusat-pusat perbelanjaan. Mereka juga sama seperti para wanita di belahan dunia mana pun yang gemar berbelanja dan memakai produk-produk elektronik untuk bergaya.

Serbuan jamaah haji ke Masjid Nabawi, tidak serta-merta membuat mereka berkurang atau mengerem kegiatannya. Para perempuan Arab Saudi tetap aktif melaksanakan aktifitas sehari-hari, terutama di pusat-pusat perbelanjaan. Sampai di sini, maka menjadi benarnalah sabda Nabi Muhammad SAW bahwa, tidak ada perbedaan antara orang-orang Arab dengan non Arab, kecuali dengan ketaqwaan (Laa farqo bainal Arobi wal'ajami illa bittaqwa).

Para jamaah haji yang mengerti dan menyadari bahwa perjalanan ibadah haji adalah perjalanan untuk memenuhi undangan Allah, maka mereka tentu tidak akan berlarut-larut dan menyibukkan diri dalam urusan perbelanjaan. Tidak pula sampai kebingungan menyiapkan lebih banyak koper dan tas jinjing untuk menampung oleh-oleh. Mereka yang mengerti bahwa ibadah haji adalah perjalanan menuju keridhoan Allah, hanya akan membawa bekal harta atau uang secukupnya, sekedar cukup untuk menopang tubuh agar kuat beribadah.

Mereka yang menyadari bahwa perjalanan ibadah haji adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan Rasulullah SAW tentu akan senantiasa mengingat sabda Rasulullah SAW, "Siapa pun yang berhijrah untuk untuk mengabdi kepada Allah dan Rasulullah, maka mereka akan berhijrah kepada Allah dan Rasulullah. Sedangkan mereka yang berhijrah karena harta benda duniawi atau wanita untuk dinikahi, maka hanyalah akan berhijrah karenanya."

(Faman kaanat hijrotuhu ilallahi warosuulihi fahijrotuhu ilallahi warosuulihi. Waman kaanat hijrotuhu lidunyaa yusiibuhaa awimroatin yankihuha fahijrotuhu ilaa maa hajaro ilaihi). HR. Bukhori Muslim.
 
Dari sini menjadi jelas bahwa, perjalanan ibadah haji juga menghadirkan dinamika tersendiri bagi kualitas keimanan seorang Muslim. Jika mereka yang berhaji karena memenuhi undangan Allah, maka mereka akan berhaji di jalan Allah, di bawah bimbingan dan Rahmat Allah. Muslim jenis ini akan senantiasa berusaha menggunakan waktunya untuk bersimpuh memohon ampunan dari Allah atas semua dosa-dosa yang pernah dilakukannya. memohon kepada Allah agar dijadikan hamba yang disayangi dan diridhoi.


Sedangkan jika mereka berhaji karena menginginkan barang-barang perbelanjaan, sudah tentu mereka hanya akan sibuk berlalu lalang menjinjing tas di pusat-pusat perbelanjaan. Mereka hanya akan sibuk memilih barang-barang bagus yang di jajar di kios-kios, dan terlilit kerepotan untuk mengepak dan menjaga agar tidak ketinggalan atau tercecer selama perjalanan.  
 
Kini terserah Anda, ingin memilih menjadi yang mana. Kota Madinah benar-benar memberikan keleluasaan untuk memilih salah satu di antara keduanya. Menjadi miss jinjing yang sibuk lalu-lalang di pusat-pusat perbelanjaan kota Madinah, atau tersuruk bersimpuh di Raudhoh dan bermunajat di bawah pilar-pilar pualam Masjid Nabawi. (min/Laporan langsung Syaifullah Amin dari Saudi Arabia)


Terkait