Posisi Nahdlatul Ulama (NU) yang saat ini menjaga jarak politik praktis adalah bagian dari pelajaran Khittah NU. Hal ini merupakan kekuatan sekaligus kelemahan NU. Kekuatan karena warga NU bisa masuk ke semua kekuatan politik.
Merupakan kelemahan karena NU tidak dapat menyatukan suara warganya ketika, misalnya, menghadapi even-even politik. Akibatnya, NU sering kelabakan. Bahkan di tingkat basis, kerap terjadi pertikaian yang tak berkesudahan.<>
Pendapat tersebut dikemukakan Bupati Probolinggo, Hasan Aminuddin, saat berbicara dalam seminar “Pendidikan Politik dalam Perspektif Aswaja” di aula Pengurus Cabang NU Jember, Jawa Timur, Sabtu (13/12) pagi.
Menurut Hasan, posisi NU kini sudah betul. Walaupun harus diakui, akibat penerapan Khittah itu, suara warga NU rentan bercerai-berai, dan cenderung merugikan, terutama dalam ajang perhelatan politik. Namun, ia mengaku tidak setuju Khittah direvisi.
“Yang perlu diubah adalah kecenderungan politik warga NU. Yang tidak satu suara, mari satukan ketika menghadapi sebuah even politik,” jelas a’wan Mustasyar Pengurus Wilayah NU Jatim itu.
Hasan juga menegaskan, ‘syahwat’ politik warga NU memang cukup tinggi. Hal itu bisa dilihat, misal, dari keinginan pengurus NU yang ingin menjadi calon anggota legislatif. “Kalau sudah jadi pengurus, langsung mau jadi caleg, minta nomor jadi lagi,” tandasnya.
Di bagian lain, Hasan mengeritik politikus NU yang berdiri di dua kekuatan politik. Ia menyebutnya sebagai politikus munafik yang sangat berbahaya bagi masa depan partai. Sebab, ia hanya akan menjadi duri dalam daging.
“Bagi saya, orang munafik itu musuh besar. Tapi, kalau musuh di luar partai, saya anggap hiburan karena manuvernya kelihatan, dan itu bisa merangsang kita untuk berbenah,” ungkapnya. (ary)