Indonesia sebagai negara (state) sebenarnya sudah tidak ada. Indonesia hanya berada dalam bayang-bayang ideal masyarakat ketika ada momen kenegaraan tertentu semisal hari besar nasional.
“Indonesia hanya ada dalam angan-angan ketika misalnya pada tanggal 2 Mei ada hari pendidikan nasional, lalu orang melakukan upacara, hanya itu,” kata budayawan Agus Sunyoto saat menjadi pembicara inti dalam diskusi NU Online bulan ini bertajuk “Menusantarakan Indonesia” di gedung PBNU, Jakarta, Selasa (15/5).<>
Dikatakan Agus Sunyoto, kalaupun ada, negara Indonesia hanya menjadi alat kapitalisme global. Indonesia kini hanya menjadi pasar yang amat besar dan negara berfungsi sebagai regulatornya.
“Anehnya, kita anggap negara itu masih ada tapi mereka para pejabat dan kaum pemodal menganggap negara itu jarahan,” katanya.
Ketiadaan negara, lanjut pelopor “pesantren global” itu bisa jelas-jelas dirasakan sejak diberlangsungkannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di Bogor tahun 1994 yang memunculkan Deklarasi Bogor. Waktu itu pemenrintah Indonesia menerima semua agenda globalisasi dan pasar bebas.
“Dalam pidatonya pemerintah bilang bahwa mau mau tidak mau kita ikut globalisasi karena sudah masuk. Akhirnya tahun 1997 Indonesia hancur-hancuran,” kata Agus Sunyoto.
Lalu, reformasi Indonesia pada 1998 sebenarnya tidak menghasilkan apa-apa. Alih-alih mengetatkan pertahanan ideologi Pancasila, pada 2002 Undang Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia mulai diamandemen untuk memperlancar arus globalisasi. Kemudian pada 2003 dideklarasikan globalisasi tingkat ASEAN.
“Yang riil sekarang bisa dilihat ekonomi masyarakat sudah banyak yang dikuasai ritel asing seperti AlfaMart. Lalu masyarakat semakin banyak yang menganggur. Pengamen di tiap kampong minimal satu orang, preman dan polisi cepek ada di tiap jalan,” kata Agus.
Sementara itu, pada era reformasi lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dibiayai oleh lembaga donor asing semakin menjamur. “Orang dipusingkan dengan isu gender dan lain-lain kemudian sampai muncul sempalan-sempalan Islam dengan berbagai ragam pemikirannya, tapi tidak ada hubungannya dengan kepentingan masyarakat,” katannya.
Diskusi dipandu oleh Pimpinan Redaksi NU Online Abdul Mun’im DZ. Hadir sebagai peserta antara lain aktivis 1998 Syafi' Aleiha dan Abdullah, Peneliti LP3ES Enceng Soborin, pengamat politik luar negeri Hendrajit, budayawan Sudes Sudyarto dan Hesti Prabowo, redaktur LKiS Sholeh Israh, Ketua PBNU KH Said Aqil Siradj dan Abdul Aziz, Direktur LAKPESDAM NU Lilils Nurul Huda, Sekjen Lesbumi M Dienaldo, Wakil Sekretaris Asosiasi Pesanteren seluruh Indonesia (RMI) Sulthan Fathoni, serta beberapa aktifis dan wartawan dari kalangan muda NU.(nam)