Semarang, NU Online
Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU), Ahmad Baso mengungkapkan, NU dengan kekayaan tradisi keagamaan, budaya, dan sosial yang dimiliki, belakangan ini menjadi target negara Barat, Amerika Serikat (AS), dan kelompok fundamentalis Timur Tengah.
Baso dalam bedah buku "NU Studies" di Semarang, Sabtu mengatakan, Barat dan kelompok fundamentalis melalui jaringannya di Indonesia sama-sama ingin mengubah tradisi keagamaan yang selama ini dijadikan acuan NU.
<>Oleh kelompok liberal, kata penulis sejumlah buku tentang pemikiran Islam itu, tradisi NU dijadikan target atau sasaran kritik, termasuk pendidikan pesantren, kiai, dan kitab kuningnya.
Demikian pula kelompok-kelompok Islam garis keras yang banyak disokong negara-negara Timur Tengah kaya minyak, kata Baso, juga menganggap tradisi NU penuh dengan kemusyrikan, takhayul, dan kurafat.
"Kedua kelompok itu sama-sama tidak mau terikat dengan kiai, yang katanya feodal dan seperti dewa yang disembah-sembah," katanya.
Karena ada kesamaan target, Baso menduga, "Jangan-jangan kedua pendekatan (dua kelompok tersebut, red) sama-sama bersumber dari satu desain tunggal, sebab semua pendekatan ini menempatkan NU, baik sebagai jamiah maupun jemaah, dalam posisinya sebagai obyek (maf’ulun bih). Mereka sama-sama mengeksploitasi basis keagamaan dan pondasi sosial komunitas NU."
Karena itu, menurut Baso, sudah saatnya nahdliyin menelaah NU dalam konteks globalnya, karena dalam konteks inilah ormas Islam terbesar di Indonesia ini menjadi target dari sejumlah proyek dari luar, dari Timur Tengah maupun Barat, terutama AS.
Ia memberi contoh, sekelompok orang yang meledakkan Gedung WTC pada 11 September 2001 bukan orang Indonesia, tapi orang Timur Tengah. Mestinya, kata Baso, kampanye AS melawan terorisme dan promosi Islam moderat diarahkan ke Timur Tengah.
"Tetapi AS justru datang juga ke Indonesia dengan kampanye dan ’kecap’ nomor satu. Apa kepentingannya datang ke Indonesia?," katanya.
"Di sinilah pentingnya kalangan kiai dan pesantren membuka ’siyaqul kalam’ (konteks, red) dari kampanye perang melawan terorisme dan promosi Islam moderat," katanya.
Pemikiran kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) disebut Baso sebagai fundamentalisme neoliberal, karena sudah bermain-main ayat untuk sesuatu yang politis dan ideologis. "Seakan-akan dalam pandangan mereka, menjadi liberal identik dengan kebajikan moral, sementara yang tidak liberal dianggap berakhlak rendah," katanya.
Pendekatan Barat
Pendekatan Barat yang dilakukan untuk mengubah tradisi NU, katanya, melalui berbagai cara, seperti kelembagaan dengan datangnya duta besar negara Barat kepada pengurus NU dari tingkat pusat hingga bawah.
Pendekatan lain, melalui isu HAM, pluralisme, toleransi, maupun isu kesetaraan gender, terutama pada anak muda NU yang gandrung pada LSM yang bergerak di bidang demokrasi dan pluralisme.
Kemudian melalui pendekatan kurikulum dan sekolah, misalnya dengan upaya menggantikan pelajaran jihad membela agama, negara, dan bangsa, digantikan dengan pendidikan kewargaan (civis education).
"Kalau jihad diganti dengan ’civic education’ maka komunitas pesantren akan kehilangan karakter kebangsaannya dan tidak lagi membela agama, bangsa, dan negara," katanya.
Pendekatan lain yang digunakan Barat, katanya, melalui media dan permainan isu, seperti menyuarakan pentingnya kehadiran kelompok-kelompok Islam progresif atau moderat dan membangun saling pengertian dan pemahaman Islam dann Barat.
Masalah, menurut Baso, media ibarat pedang bermata dua, kadang mencerahkan, kadang membodohi bahkan malah memanasi dan memprovokasi suatu peristiwa.
"Pembusukan terjadi ketika media melakukan ’framing’ (pembingkaian, red) bahwa yang mendukung RUU APP (Antipornografi dan Antipornoaksi) dianggap konservatif dan kolot, sedangkan yang menolak dianggap sebagai progresif dan reformis," katanya.
Menghadapi ancaman tersebut, katanya, NU bersama Muhammadiyah tidak tinggal diam. K.H. Hasyim Muzadi dan Dien Samsudin (Ketua Umum PP Muhammadiyah) telah menyatukan langkah untuk menegakkkan kerukunan sosial dan kesatuan nasional.
NU dan Muhammadiyah juga menolak tegas segala bentuk ketundukan dan campur tangan asing dalam bentuk apa pun, kata Baso. Bedah buku itu juga menghadirkan cendekiawan Islam, Dr. Abu Hapsin, Prof. Dr. Masykuri Abdullah, dan Dubes RI untuk Qatar, Abdul Wakhid Makhtub. (ant/kut)