Warta

NU Malaysia, Bukan “Tong Kosong"

Kamis, 16 Maret 2006 | 09:25 WIB

Kultur NU ternyata tidak mudah lepas begitu saja meski harus merantau jauh ke negeri sebarang. Hal itu dibuktikan oleh para kader NU di Malaysia. Meski disibukkan dengan aktivitas sebagai mahasiswa dan TKI, para kader NU di Malaysia tetap mempunyai semangat untuk membesarkan. Apa alasan PCI-NU Malaysia berdiri?

Sensus warga NU di Malaysia memang tidak pernah dilakukan. Namun, cukup realistis jika dengan potensi komunitas pelajar dan mahasiswa Indonesia serta TKI di Malaysia yang lebih kurang mencapai angka 10 ribu orang, bukan tidak mungkin bahwa di negeri Jiran itu terdapat minimal 750 pelajar (7,5%) yang berbasis kultur NU. Dan, bukan mustahil dengan angka 800 ribu pekerja Indonesia yang bekerja di Malaysia, baik yang berstatus legal maupun ilegal, di dalamnya terdapat 100 ribu pekerja yang mempunyai basis ideologi NU.

<>

Belum lagi jumlah masyarakat Indonesia yang berstatus semi warganegara, yaitu sebagai penduduk tetap yang mayoritas berasal dari Jawa, Bawean, Madura dan daerah lainnya di Indonesia. Mereka telah menjejakkan kakinya di Malaysia sejak tahun 70-an dan hingga kini diperkirakan mencapai puluhan ribu orang.

Potensi besar tersebut  tentu sayang jika diabaikan begitu saja. Dengan mengusung segala potensi yang ada dan bermodalkan idealisme kultural dan intelektual yang meluap-luap, maka lahirlah NU Cabang Istimewa di “Negeri Jiran” Malaysia. Organisasi ini pun akhirnya mendapat pengakuan struktural secara resmi sebagai PCI-NU Malaysia pada Muktamar Lirboyo tahun 1999 lalu.

“Mungkin orang bilang kita ini warga Indonesia yang grudak-gruduk atau komunitas hanya kumpul-kumpul semata. Meski demikian kami juga bukan ‘tong kosong nyaring bunyinya’,” kata Miftahurrahim.

Keberadaan PCI-NU Malaysia adalah gambaran nyata bahwa NU tidak hanya besar di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Perjuangan para kiai dan ulama NU terdahulu menjadi semangat yang tidak akan padam bagi para kadernya. Setelah secara kultural dan struktural mendapat pengakuan dari PBNU, para pengurus PCI-NU Malaysia pun bergerak cepat dengan merancang program kerja, seperti halnya NU di Indonesia.

“Berangkat dari fenomena kultural bahwa sebuah komunitas memerlukan identitas. Dengan mengusung berbagai simbol kultural inilah, tak ayal telah menggerakkan hati dan 'kaki' beberapa orang generasi muda dan mahasiswa NU untuk membidani lahirnya NU di Malaysia sebagai wadah ekspresi sekaligus simbol identitas diri,”  ungkap Miftahurrahim.

Layaknya komunitas kultural NU di Indonesia, kader NU di Malaysia adalah warga NU kultural yang mengalir deras di dalam jiwa mereka ajaran para kiai dan ulama NU. Dengan mengusung berbagai idealitas generasi muda, intelektualitas mahasiswa sekaligus memanfaatkan berbagai potensi kultural sebagai warga pendatang, berbagai bentuk program dan kegiatan dilaksanakan.

Banyak segmen yang coba dimasuki PCI-NU Malaysia dalam rangka merealisasikan visi dan misi NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Hal ini diambil berdasarkan pertimbangan obyektif di mana warga NU di Malaysia terdiri dari banyak kalangan para “pengemis” ilmu (mahasiswa) maupun pengais rejeki (TKI), baik yang berstatus sebagai pendatang maupun penduduk tetap. “Untuk itu beberapa segmen berikut merupakan alternatif-alternatif sarana dan wadah untuk merealisasikan tujuan pemberdayaan tersebut,” katanya. (Ahmad Millah Hasan/bersambung)


Terkait