Warta

NU Serap Nilai Positif dari Berbagai Ideologi

Kamis, 30 Desember 2010 | 00:32 WIB

Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Said Ali mengatakan, NU tidak anti ideologi manapun, tetapi NU mengambil aspek-aspek positif dari berbagai ideologi yang ada, termasuk ideologi neoliberal.

Hal ini dikatakannya dalam acara refleksi akhir tahun yang diselenggarakan oleh PBNU di Gedung PBNU, Rabu (29/12).<>

Mantan Wakabin ini juga mengatakan bahwa berbagai fenomena dan kejadian-kejadian besar yang terjadi di Indonesia seperti kasus Bank Century, kasus Bibit-Chandra dan radikalisme yang mewarnai pemberitaan media tahun 2010 ini bisa dilihat dari dua aspek, yaitu kepentingan politik dan pertarungan ideologi.

“Dalam setiap konflik, selalu ada dimensi kepentingan politik bisa juga ekonomi dan lainnya. Ada pula dimensi ideologinya, dan ini mempengaruhi situasi situasi politik dan keamanan nasional,” katanya.

Dalam pertarungan antara ideologi sekuler dan fundamentalis, NU harus mampu berdiri di tengah-tengah untuk mendamaikan dan mengambil sisi terbaik dari keduanya. Pertarungan dari berbagai ideologi semakin keras di Indonesia ketika terjadi globalisasi sehingga nilai-nilai luar dengan gampang masuk ke Indonesia.

NU sebagai muassis atau salah satu pendiri republik ini telah sepakat bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang dirangkum dalam Ideologi Pancasila yang telah mengalami proses diskusi panjang dari para pendiri bangsa sehingga bisa disepakati bersama oleh para komponen bangsa ini.

Dalam Pancasila aspek religius menjadi nilai yang mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara. “Agama menjadi sumber nilai yang sinergis,” katanya.

Ditegaskannya, pandangan yang mengabaikan pentingnya ideologi seperti yang mengemuka pada awal-awal reformasi perlu dikaji ulang. Sebagai bukti banyak sekali produk UU yang sangat menonjol aspek neoliberalnya.

As’ad mempertanyakan beberapa produk UU yang tidak jelas untuk kepentingan siapa dibuatnya seperti UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengizinkan kepemilikan tanah oleh fihak asing sampai 95 tahun dan UU Yayasan.

Demokrasi saat ini dinilainya sebagai sistem terbaik, tetapi disisi lain, kelompok minoritas juga harus mendapat perlindungan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah memunculkan kembali utusan golongan di MPR untuk menjaga kepentingan kelompok minoritas karena jika mereka masuk partai politik, kepentingan yang menonjol adalah kepentingan politiknya.

Ia mengusulkan adanya utusan golongan sebesar 5 persen untuk menampung kelompok seperti orang Papua, agama minoritas seperti Kaharingan, kelompok kebudayaan dan lainnya.

“Kita sebagai NU tidak mengenyampingkan tugas kebangsaan kita yang telah dirintis oleh para kakek kita,” tandasnya. (mkf)


Terkait