Warta

PBNU Diuji untuk Buktikan 'Kesaktian'nya di Lebanon

Ahad, 2 Agustus 2009 | 07:38 WIB

Kairo, NU Online
Pembajakan kitab Sirajut Thalibin karangan ulama asal Nusantara Syaikh Ihsan al-Jampesi al-Kediri al-Jawi oleh penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah Beirut merupakan masalah serius karena menyangkut eksistensi sejarah dan budaya Islam Nusantara, khususnya karangan-karangan ulama Indonesia yang sangat berharga.

Kemampuan PBNU untuk dapat menyelesaikan kasus ini dinilai sangat penting. Bagaimana pun, PBNU adalah pucuk pimpinan jam'iyyah yang menjadi bagian tak terpisahkan dan memiliki hubungan kultur serta ideologi dengan pengarang, juga dengan dunia kitab kuning karangan ulama tanah air.<>

"Selain karena kewajiban menyelamatkan karya kiai-nya yang dibajak orang luar, hal ini juga untuk membuktikan komitmen NU terhadap khazanah Islam Nusantara yang luar biasa kaya dan menjadi bagian serta ciri khasnya," demikian dikatakan salah satu pemangku PCINU Mesir AGS Saefullah di kediaman Rais Syuriyah PCINU Mesir KH DR Fadhalan Musyafa' di Kairo, pada Kamis (30/7) kemarin.

Fullah juga mengharapkan, seyogyanya perhatian PBNU terhadap dunia khazanah Islam Nusantara bisa lebih ditingkatkan lagi. Karena bagaimanapun, saat ini banyak karangan ulama-ulama Nusantara yang "mangkrak" dan hampir punah karena tak diterbitkan lagi oleh penerbit-penerbit Timur Tengah.

"Dari beberapa survei yang dilakukan oleh kawan-kawan PCINU Mesir, ternyata ada banyak manuskrip ulama Nusantara di perpustakaan Kairo yang nasibnya tak terurus, begitu juga banyak karya-karya ulama kita yang sudah tak diterbitkan lagi. Hal ini butuh perhatian dari pihak yang berwenang, karena bisa mengancam hilangnya jejak dan mata rantai sejarah Islam Nusantara, khususnya NU," terang Fullah.

Dikisahkannya, di Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi, penerbit Mesir yang dari akhir tahun 1800-an hingga tahun 1960-an banyak menerbitkan karya-karya ulama Nusantra, misalnya, didapati sekitar 45 judul kitab karangan ulama Nusantara dengan tahun terbit rata-rata 1920 dan 1930-an yang sudah tak terbit lagi dan tak didapati di tanah air.

"Kitab-kitab itu ditemukan di gudang, keadaannya sudah jadi 'sampah'. Ini mengenaskan. Tapi kami juga beruntung menemukan kitab-kitab itu. Benar-benar seperti menemukan harta karun," papar Fullah.

Untuk itulah, di hadapan semua kasus 'mengenaskan' di atas, PBNU diharapkan bisa mengambil tindakan yang tegas dan jelas. Penyelesaian kasus tersebut sekaligus akan menjadi bahan ujian bagi PBNU untuk mampu membuktikan dirinya sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang juga memiliki pengaruh besar di kancah internasional.

"Yang kita harapkan juga, reaksi dan upaya PBNU atas pembajakan karya agung kyai asal Kediri ini seharusnya sekencang dan seserius reaksi dan upaya sebagian elit NU yang kerap diperlihatkan dalam hiruk pikuk pentas politik," terang Fullah. (aga)


Terkait